[SUARA HATI] nancy samola

21 Agustus 2009

“Selamat Jalan Evert, Selamat Datang Evert Jr.”

Filed under: Pendidikan,Politik,Terorisme — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

HARI INI Senin (20/7) jenasah korban pemboman Hotel JW Marriott, Evert Mokodompis, 33 tahun, rencananya dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Joglo Jakarta Barat. Almarhum Evert adalah seorang dari 9 korban tewas akibat aksi teror bom, di 2 hotel berbintang Jakarta Jumat lalu (17/7).

Berkas:Bom2009.jpg

Bom Mega Kuningan

Evert meninggalkan istri dan dua anaknya. Anak pertama Angel berusia empat tahun, sedangkan anak yang kedua, baru saja lahir pada Sabtu 18 Juli 2009, setelah ledakan bom merenggut kehidupan Evert. Istri korban, bernama Ratna, terpukul dengan fakta kematian itu. Ratna baru diberitahu kematian Evert hari Minggu (19/7).

Sedihnya membaca berita ini. Almarhum Evert adalah Chef Banquet yang berstatus sebagai karyawan di Hotel JW Marriot. Saat bertugas di hari nahas, ia tengah menantikan kelahiran putera keduanya. Sehari setelah Evert tewas, Sabtu (18/7), sang istri melahirkan.

Dalam pengamatan saya, Sang Istri dan anak almarhum baru saja lolos dari maut. Dan, berhasilnya proses persalinan ini atas dukungan pihak keluarga dan kerabat, yang ‘sengaja’ tak memberi-tahukan informasi keberadaan korban ketika ledakan bom terjadi.

Lahirnya bayi Evert sengaja dikondisikan, agar Sang Ibu ‘diasingkan’ dari gencarnya berita dan publikasi bom di media massa khususnya televisi. Jika Sang Ibu mengetahui adanya peristiwa tersebut menjelang persalinan, dikhawatirkan akan mengguncang mental dan jiwanya, yang pada akhirnya dapat mengganggu proses persalinan.

Semoga ini dapat menjadi contoh untuk kita semua, agar senantiasa menjaga proses persalinan ibu yang akan melahirkan, demi keselamatan ibu dan sang bayi. Meski Sang Teroris berhasil mencabut sejumlah nyawa manusia, tapi nyawa seorang bayi dapat terselamatkan dari teror tak langsung.

Inilah good news tersebut!

Kita jangan sampai terbelenggu oleh pemberitaan duka korban dan lambannya penyelidikan aparat penegak hukum. Mari, jadikan sekecil apapun berita kemenangan korban, di balik teror bom Mega-Kuningan. Bagi saya, berita seperti ini adalah kekalahan Teroris, yang awalnya merasa berhasil menebar kecemasan di kalangan masyarakat. Minimal, tak 100 persen teror yang telah diciptakan, sudah mampu membuat masyarakat takut.

Media harus berperan kuat memberikan penguatan-penguatan sosial. Seburuk apapun peran pemerintah dan aparat dalam mengungkap tabir aksi-teror, kondisi tatanan publik seperti ini merupakan kemenangan tersendiri dalam upaya memerangi kejahatan terorisme. Masyarakat tentunya secara tak sadar telah paham untuk menyembunyikan informasi, agar tak mengganggu proses alamiah dalam sebuah kehidupan.

Tapi yang jelas, Pemerintah juga tak boleh lupa tanggung jawabnya. Selain menangkap dalang di balik ini semua, para korban bencana harus mendapat perhatian serius, demi kelangsungan hidup mereka selanjutnya.

Cukup sudah cerita pilu para korban teror bom sebelumnya. Sudah banyak kisah menyedihkan para korban yang menderita cacat seumur hidup, sulit mendapat tempat layak di masyarakat. Maka mulai saat ini, siapa pun yang menjadi korban, sudah selayaknya dilindungi dan dipelihara oleh negara. Mereka yang kehilangan pekerjaaan, wajib diberikan tunjangan sosial yang layak. Dan mereka yang menjadi yatim-piatu, harus diberikan pendidikan hingga dewasa. Itulah kekalahan teroris!

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

‘Indonesia All Star’ Lolos dari Maut

Filed under: Olahraga,Politik,Terorisme — nancysamola @ 10:43

Diposting di Kompasiana.com pada 17 Juli 2009

PAGI TADI sebelum mengajar, saya terkejut saat menonton televisi. Sedih, prihatin dan marah bercampur jadi satu. Saya paling benci yang namanya aksi kekerasan, terutama kejahatan yang dilakukan kelompok teroris.

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/3/3f/Bom2009.jpg/250px-Bom2009.jpg

Bom Mega Kuningan

Dua hari menjelang kedatangan tamu kesebelasan Manchester United, sebuah ledakan terjadi di Kawasan Mega Kuningan, di dekat Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, Jumat (17/7). Ledakan itu menurut versi detik.com, terjadi pukul 07.40 WIB, sementara wikipedia menyebut bom pertama meledak pukul 07.45 WIB, sedangkan kompas.com melansir pukul 07.30 WIB. Tapi tampaknya, saya sependapat dengan kompas.

Okelah, pihak MU membatalkan rencana pertandingan persahabatan di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta. Mungkin, ini dianggap sebagai keputusan bijak dari tim official, untuk memberi ruang bagi aparat penegak hukum di Indonesia, dalam mengungkap kasus teror bom ini.

Satu hal yang menarik bagi saya, Tim nasional Indonesia yang beberapa hari ini menginap di Hotel JW Marriott, selamat dari peristiwa tersebut. Mereka semua selamat, karena berangkat dari hotel untuk latihan ke GBK, hanya beberapa menit menjelang ledakan bom yang pertama. Faktor apa yang menyelamatkan mereka?

Dalam tulisan ini, saya menggunakan kacamata faktor lucky yang berpihak pada pasukan Indonesia All Star. Saya merasa bersyukur atlet kebanggaan Tanah Air itu, lolos dari maut. Hati kecil saya berkata, TUHAN sedang merencanakan sesuatu yang indah pada setiap Anak Bangsa.

Entah apa yang terjadi, jika mereka terlambat berangkat dari Hotel JW Marriott. Sebagai penggemar sepak bola—meski hanya hobi menonton saja—saya salut dengan kinerja pelatih timnas Benny Dollo, yang menerapkan disiplin pada pasukannya.

Mungkin saja (karena belum ada informasi rinci), timnas sempat menikmati sarapan pagi di restoran hotel berbintang tersebut. Tentunya, Sang Coach mempersiapkan dan melaksanakan jadwal secara ketat, agar timnas tak terlambat tiba di GBK. Nah, disiplin tinggi yang diterapkan timnas ini, menurut saya, yang menyelamatkan nyawa dan masa depan mereka. Selain doa, tentunya.

(Timnas RI/Foto:Tri Saputro)

Dalam sebuah berita, pasukan Benny Dollo meninggalkan hotel untuk latihan sebelum ledakan bom terjadi di Marriot dan Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, sekitar pukul 07.40 WIB, Jumat, 17 Juli 2009. Uniknya, Benny Dollo sendiri saat ini mengaku tetap akan fokus untuk memimpin latihan timnas Merah Putih. Padahal, tim ‘Setan Merah’ sudah secara remi membatalkan kunjungan mereka ke Jakarta dan Bali.

Setelah mendapat saran dari sejumlah pihak, termasuk Kementrian Luar Negeri Inggris, United mengkonfirmasi tidak akan terbang ke Jakarta.

Saya dan mungkin fans kesebelasan PSSI lainnya, menyayangkan pembatalan MU ke Indonesia. Tapi coba bayangkan, Benny Dollo tetap fokus untuk memimpin latihan timnas Merah Putih, dan tak peduli up date berita terkini pasca-ledakan. Dalam pikiran mereka, “Yang penting latihan, membawa panji bangsa dan negara melawan MU“.

Inilah salah satu wujud puji syukur, meski di lain pihak, kita berduka atas jatuhnya korban jiwa. Dalam konteks ini, kita harus tetap mengutuk aksi terorisme, tapi di lain pihak, kita berbangga hati melihat kegigihan timnas berlatih.

Bagi yang sudah memiliki tiket menonton di GBK, tak usah bersedih pembatalan kedatangan MU. Percayalah, TUHAN memiliki rencana untuk timnas dan MU, dibalik peristiwa ini. Minimal, masih ada waktu untuk membenahi PSSI. Dan, semoga rencana itu, indah pada saatnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

20 Agustus 2009

H1N1+H5N1=Siaga 1?

Filed under: Kesehatan,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 16 Juli 2009

OALA… Hari ini saya kena flu. Mungkin, ini lantaran beberapa hari ini saya begadang untuk menyelesaikan tugas di kampus, dan tak diimbangi dengan istirahat yang cukup. Pagi tadi, saya sudah mengkonsumsi obat infuenza, yang selama ini dipakai turun-temurun oleh keluarga. Dan tentu, mungkin karena sugesti, saya berharap segera pulih, supaya tak mengganggu aktivitas saya.

Tapi, sugesti yang saya harapkan kali ini, tampaknya kurang berpihak. Mungkinkah karena saya membaca berita di situs kompas.com berjudul “A-H1N1, Jumlah Korban Positif 142 orang” ? Informasi ini tentunya mengejutkan, karena rasanya, saya menganggap pasien H1N1–yang pernah disebut-sebut flu babi–hanya beberapa saja. Karena berita inikah, flu saya jadi sulit sembuh?

Bu Menkes Siti Fadilah Supari tampaknya makin teliti dalam tugasnya sebagai abdi negara. Beliau tampaknya sudah sangat paham kondisi di lapangan, setelah belajar dari kasus flu burung. Cuma masalahnya, pernyataan Bu Menteri tadi malam (15/7) itu, kok bikin dengkul saya jadi lemas. Ia bilang, “Meskipun angka kematian influenza A-H1N1 di dunia sangat rendah yakni 0,4%, namun penularannya sangat cepat.”

Bolehlah bersikap kritis, tapi mbok ya, jangan nakutin gitu lho Bu…

Untungnya, ada imbauan Bu Menteri kepada masyarakat, yakni agar tetap waspada dan senantiasa membiasakan pola hidup bersih dan sehat diantaranya mencuci tangan dengan sabun, dan melaksanakan etika batuk dan bersin yang benar. Apabila flu dalam 2 hari tidak membaik segera ke dokter. Kemudian, jika ada gejala Influenza, maka gunakan masker dan tidak ke kantor, ke sekolah atau ke tempat-tempat keramaian dan istirahat di rumah selama 5 hari. Wah, yang terakhir saya tak setuju, karena 5 hari tak ngantor, bisa dianggap mengundurkan diri.

Masalahnya, di kota Manado tempat saya menetap ini, kabarnya sudah ada 2 pasien suspect H1N1 yang dirawat di ruang isolasi rumah sakit. Akibat berpikir pernyataan Bu Menteri itu, kini badan saya jadi lemas, dan ingin rasanya berbaring di kasur empuk.

Bagi saya, Bu Menteri jangan terlalu banyak omdo (omong doang). Publik sudah makin pintar untuk membedakan, mana pejabat pemerintah yang benar-benar bekerja, dan mana yang sekedar tebar pesona. Tentunya, adalah lebih bijak, jika Departemen Kesehatan mengamankan distribusi tamiflu, obat lisensi Badan Kesehatan Dunia WHO, karena kabarnya disediakan sebanyak 3 juta tablet tamiflu.

Malah, pemerintah seyogyanya tetap memantau penularan virus avian influenza H5N1 (flu burung), serta memetakan sebarannya untuk mencegah terjadinya percampuran dengan virus influenza A (H1N1) yang dikhawatirkan dapat memunculkan jenis virus influenza baru yang lebih ganas dan mematikan. Sudahkah jajaran Departemen Kesehatan sadar akan hal ini?

Seberapa Bahaya H5N1+H1N1 ?

Selama ini kalangan ilmuan mengatakan, kematian yang terjadi pada pasien positif influenza A-H1N1 pada umumnya disebabkan karena penyakit lain yang menyertainya seperti orang dalam kondisi lemah. Kepala Laboratorium Penelitian Flu Burung Universitas Airlangga Chairil Anwar Nidom mengatakan, virus influenza A (H1N1) masih labil dan kemungkinan masih ada virus AI H5N1. Kalau ada mediator, keduanya bisa bercampur dan memunculkan jenis virus baru yang mungkin lebih ganas. Nah, saya lebih senang ‘ditakuti’ oleh narasumber yang berkompeten, daripada sama Bu Menteri.

Saya sepakat dengan Pak Nidom, pemerintah harus memetakan lagi sebaran virus AI H5N1 pada unggas dan manusia serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya percampuran. Percampuran antara sub-sub tipe virus influenza A (H1N1) dan H5N1 dapat memunculkan banyak varian virus influenza A, yang salah satunya mungkin lebih mematikan dan berpotensi menimbulkan pandemi. “Kalau sudah begitu, bukan hanya Indonesia saja yang terancam, seluruh dunia juga akan ikut terancam,” kata Nidom.

Hore.. Akhirnya saya benar-benar takut..!!

Nah, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan koordinasi dengan instansi terkait, untuk mencegah penyebaran influenza A H1N1 yang lebih luas di Indonesia. Upaya itu misalnya: penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan, penyiapan RS rujukan, penyiapan logistik, penguatan pelacakan kontak; penguatan surveilans ILI, penguatan laboratorium, komunikasi, edukasi dan informasi. Upaya lainnya berupa community surveilans yaitu masyarakat yang merasa sakit flu agak berat, seharusnya mendapat pelanyanan di Puskesmas, sedangkan yang berat bisa ke rumah sakit.

(Nancy Samola, Aktivis Komunitas Lentera)

Nasib Anggota Paduan Suara RI di Seoul

Filed under: Kesehatan,Mancanegara,Media — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 15 Juli 2009

SEORANG perempuan muda di Medan membuat saya terkejut, saat mengirim massage lewat Facebook. Saya memang tak mengenal perempuan Batak tersebut, karena ia belum terkoneksi menjadi teman dalam account Facebook saya. Tapi bukan itu yang membuat saya terkejut. Saya nyaris shock, karena massage-nya berisi tentang keluhan peserta Lomba Paduan Suara asal Indonesia, yang diperlakukan ‘kurang manusiawi’ setelah tertular virus H1N1.

https://i0.wp.com/www.ioe.ucla.edu/ctr/research/AvPath/influenza_A_virus.GIF

flu babi

Awalnya, saya ragu untuk mengabarkan informasi ini kepada rekan-rekan Kompasiana dan jurnalis di Kompas, khususnya tim moderator yang memberi inspirasi saya untuk menulis. Kekhawatiran saya beralasan, jika memposting info ini, bisa dianggap menyebarkan berita bohong, sekaligus memicu keresahan para pembaca setia Kompasiana.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak keluarga dan kerabat paduan suara, izinkan saya memposting massage tersebut. Postingan ini sengaja saya tayangkan, untuk mengungkap ‘behind the news’ di Korea Selatan (Korsel). Sekaligus, perlunya komitmen redaksi mengejar berita follow up dan fokus pada peristiwa yang dilakukan rekan-rekan jurnalis, terutama desk internasional.

TODAY is our 4th day of being quarantined, and it doesn’t seem everything is going to be better. There were 10 members of our group hospitalized since yesterday. This morning, another 2 persons hospitalized (in Masan Hospital? I m not sure). Other members are relatively healthy. I myself got a mild fever this morning (about 37.5 Celsius) and doctor gave me Tamiflu for 5 days. There are several people have already prescribed with Tamiflu since 9 July.

Until yesterday, we could still go out of the dorm to the convenience store and canteen to buy some snacks and light meals like sushi and instant noodles. Today, they tighten the security and do not allow us to go out of the building. We must stay in the building (level 5 and 6 only).

Children are not happy here. There are no facilities. Only room (two persons in one room) without aircon and no TV. Gladly, there are still few computers at level 6 to connect to the internet. We can use the internet until 11.30 pm. Food is relatively bad. Yesterday was the worst. Food came late. This is what has happened: no breakfast. Actually breakfast is a compliment from the dorm, but our group could not get it because we are isolated.

lunch came at 3pm. only pizza. limited amount, so each person can only take 2 slices. dinner came at 9pm. with pork. many of our members do not eat pork, then they didn’t eat last night.

this morning’s breakfast was only one soft bread per person. today’s lunch was very spicy. I myself (and some other people) cannot take spicy food, then I only ate the rice. another meal came around 4pm. I’m not sure whether it is for lunch, dinner, or for tomorrow?

MOHON untuk menggunakan sisi lain dalam mencermati informasi ini. Saya memberanikan diri untuk menggunakan sisi lain, untuk mereka-reka kondisi sebenaranya anggota paduan suara asal Indonesia, yang sejak pekan lalu diisolasi di rumah sakit karena terkena H1N1 atau nama lain dari flu babi.

Jumlah WNI yang menjadi delegasi Indonesia dalam festival paduan suara Asian Choir Games itu sebanyak 366 orang yang terbagi dalam sembilan grup. Mereka menginap di tiga tempat, yaitu 168 orang di Inje University, 115 orang di Masan University, dan 83 orang di penginapan lainnya. Mereka terdiri dari Paduan Suara Interna Jog’s Voice Yogyakarta (32 orang), PSM Universitas Hasanuddin Makassar (32 orang), Bitung City Chorale (43 orang), Vocafista Angels (51 orang), PSM Universitas Negeri Manado (34 orang), Elfa Music School (83 orang), Gorontalo Inovasi Choir (34 orang), PS Timutiwa (32 orang), dan Riau Female Choir (25 orang).

Indonesia ‘hanya’ meraih satu medali emas di ajang Asia Choir di Korsel. Indonesia gagal menambah medali, karena tidak melanjutkan lomba demi menghindari flu babi. Saya masih ingat, pada ajang tahun-tahun sebelumnya, senyum lebar mereka mewarnai kibaran bendera “Merah-Putih”, karena banyak mendulang medali emas dari beberapa kategori.

Sejak Sabtu 11 Juli 2009, sebanyak 12 dari 28 anggota rombongan Elfa’s Music School yang mengikuti Festival Paduan Suara Asia di Provinsi Gyeongnam, sekitar 400 kilometer di selatan Seoul, Korea Selatan, menjalani perawatan di sebuah rumah sakit karena positif terinfeksi influenza A-H1N1. Dalam berita yang terkhir dirilis di surat kabar Kompas, orang tua dari anggota rombongan Elfa’s Music School, mengatakan, kondisi anaknya sudah berangsur membaik dan tidak lagi menderita demam.

Tapi inilah anehnya, peserta anak-anak dari Elfa’s Music School, hingga kini belum diizinkan tim medis Korsel untuk pulang ke Tanah Air. Parahkah kondisi anak-anak yang menderita H1N1?

https://i0.wp.com/www.chevroncars.com/learn/flags/img/South-Korea-flag.gif

bendera korea selatan

Duta Besar RI untuk Korea Selatan Nicholas T Dammen (Senin, 13 Juli 2009) membenarkan 13 anak yang terdeteksi terinfeksi virus flu A-H1N1. Mereka kini dirawat di National Hospital di Masan di selatan Korea Selatan. Saya pecaya ucapan Pak Dubes, tapi sayang, itu cuma sesaaat. Pejabat kesehatan Korea Selatan, kemudian mengonfirmasi lagi 40 kasus influenza A (H1N1), sehingga jumlah kasus flu babi di Korsel mencapai 535 kasus. Pasien-pasien tersebut, termasuk 24 orang Indonesia, positif mengidap virus H1N1 setelah menunjukkan gejala flu.

Seperti dikutip dari kantor berita Yonhap, warga Indonesia tersebut tiba di Korsel pekan lalu untuk berpartisipasi dalam kompetisi paduan suara. Padahal, jumlah WNI yang mengidap virus H1N1 sampai Senin pagi masih 15 orang, namun dalam jangka waktu 24 jam jumlahnya terus bertambah.

Esoknya, Selasa 14 Juli 2009, ternyata ada 32 orang yang tergabung dalam rombongan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Universitas Hasanuddin, Makassar saat ini tertahan di Korea Selatan. Mereka belum bisa diizinkan pulang ke Indonesia setelah tiga orang yang ikut dalam rombongan tersebut, terkena virus H1N1. Ini berarti ada penambahan 8 pasien suspect H1N1.

Lantas, bagaimana update terkini dari Seoul? Nihil! Yang ada cuma sebuah massage dari Medan. Itupun hanya email dari seorang Panitia Asian Choir Games, yang masih diragukan kebenarannya. Tapi bagi saya, informasi sekecil apapun dalam sebuah peristiwa, tidak boleh dipandang sebelah mata.

Sebuah info entah dalam bentuk kata-kata ataupun sibol alam dan bahasa tubuh, tentu sangat berguna untuk merencanakan tindakan lebih matang. Minimal, tindakan itu sangat berguna untuk lebih menyelamatkan nyawa anak-anak, yang kabar beritanya tak ter-cover media massa.

Dan tentunya saya berharap, pemerintah RI segera melakukan langkah antisipasi cepat dan strategis, untuk menembus akses informasi kondisi warganya di luar negeri yang terkena masalah. Dan tentunya, jika info tersebut sudah didapat ataupun belum didapat, maka instansi terkait, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Kesehatan, bersikap terbuka memberikan perkembangan nasib WNI di Korsel.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

19 Agustus 2009

Sekolah Gratis itu Benar-benar Gratis?

Filed under: Pendidikan — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,

Diposting di kompasiana.com pada 13 Juli 2009

”HORE..! Akhirnya hari ini aku sekolah!” begitu teriak Si Ucok pagi tadi (13/7) sambil melangkahkan kaki keluar rumah menuju sekolah barunya. Kali ini, kegembiraan Ucok bukan tanpa alasan. Anak kedua dari empat bersaudara ini, sejak Taman Kanak-kanak atau 2 tahun lalu, belum pernah mengenyam pendidikan formal.

Begitu gembiranya Si Ucok, sampai-sampai ia tak mengetahui di balik perjuangan orang tua untuk menyekolahkannya. Ia hanya tahu, bahwa SDN 02 Pagi Lebak Bulus yang ditujunya itu, termasuk sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah. Anak kelahiran Jakarta berdarah Batak ini hanya bisa bergembira, kalau seluruh anak-anak saat ini mendapatkan fasilitas gratis dari pemerintah. Benarkah seluruhnya gratis? Eit, tunggu dulu.

Program sekolah gratis memang sangat membantu orang tua murid, karena mereka tidak lagi harus membayar uang pangkal ataupun iuran perbulan sang anak. Apalagi di saat kondisi ekonomi yang tak menentu, dimana masih ada ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan daya beli masyarakat yang rendah, program sekolah gratis mendapat sambutan antusias khususnya dari kalangan keluarga miskin.

Tapi sebaliknya bagi pihak sekolah, anggaran untuk sekolah gratis ternyata dirasakan masih kurang memadai. Akibat kondisi ini, pihak sekolah harus mencari cara untuk memenuhi kekurangannya. Caranya tentu beragam. Mulai dari pungutan resmi hingga pungutan tak resmi. Lho, kenapa ini bisa terjadi?

Salah satu penyebabnya, yakni minimnya anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah. Coba bayangkan, setiap sekolah harus mampu mengelola anggaran program sekolah gratis berasal dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pemda sebesar Rp.400.000 persiswa pertahun, serta Bantuan Operasional Pemda (BOP) Rp.720.000 persiswa pertahun. Kondisi ini, tentu berbeda jika 10 tahun lalu diberikan oleh pemerintah dengan nilai yang sama.

Pihak sekolah baru merasakan sulitnya mengelola dana tersebut, ketika perlu mengikuti kegiatan peningkatan kualitas anak didik, seperti olah raga, perlombaan hingga atraksi kesenian ekstrakulikuler. Di sinilah masalah itu akan timbul. Murid-murid yang berasal dari keluarga miskin, pada momen-momen tersebut akan merasa terpinggirkan, karena tak memiliki biaya lebih dari orang tua mereka. Akhirnya, mereka menjadi penonton di sekolahnya sendiri, padahal bisa jadi, mereka memiliki kualitas yang lebih baik daripada murid yang berkantong tebal.

Murid Miskin di Kota dan Desa

Persoalan dana pendidikan untuk sekolah gratis mulai terasa, ketika kegiatan belajar-mengajar berjalan. Di sinilah terlihat, bahwa tak ada pendidikan yang gratis! Kegiatan dan sarana infratruktur apapun, tentu membutuhkan biaya. Tak dapat dipungkiri, bahwa kualitas peserta didik dan tenaga pendidik, harus ditunjang oleh faktor dana. Meski demikian, sesuai falsafah dunia pendidikan, faktor dana bukanlah satu-satunya penentu kegiatan belajar-mengajar.

“Inilah filosofi yang harus dipertahankan!”

Masalah kemiskinan merupakan masalah bersama, baik di kota maupun di desa. Ketika teknologi informasi tak lagi menjadi monopoli, kini kondisi kemisikinan hanya beda-beda tipis. Tapi dalam konteks pendidikan, murid Si A yang tiap hari diantar-jemput oleh sopir pribadi di kota besar, tentu kualitasnya belum tentu sama dengan murid Si B, yang setiap hari berjalan kaki 10 kilometer menuju sekolah gratis.

Tentunya ini akibat merupakan faktor lingkungan, yang terkait faktor internal diri murid. Jika Si A terbiasa hidup mewah, ber-blackberry-ria dan mendapat uang saku Rp.1 juta per minggu, belum tentu ia mampu menghapal rumus ilmu pasti di sekolah. Demikian sebaliknya, bisa jadi Si B memiliki semangat tinggi belajar dan bahkan dapat berimprovisasi dengan alam, otaknya lebih encer daripada Si A.

Nah, untuk yang ini, pemerintah harus mampu bersikap bijaksana. Anak-anak seperti ini seharusnya mendapatkan posisi yang layak, karena merupakan cikal-bakal aset bangsa. Mereka ini bagaikan jarum yang terdapat di tumpukan jerami. Sayang sekali, jika mereka harus putus sekolah karena biaya ini-itu di sekolah bertajuk “sekolah gratis”.

Akhirnya, mudah-mudahan langkah Si Ucok memasuki sekolah barunya hari ini tak sia-sia. Apalagi orang-tuanya selama ini menyembunyikan caranya membeli baju, tas, dan buku Si Ucok, meski harus mengutang ke kerabat. Dan semoga, niatnya untuk mendapat fasilitas pendidikan tahun ini, tak tercoreng dengan godaan korupsi, sehingga harapannya pupus di tengah jalan. Saya sangat berharap demikian.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

n formal.

Anak Jalanan: Tanggung Jawab Siapa?

Filed under: Budaya,Kemiskinan,Pengangguran,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di kompasiana.com 12 Juli 2009

SABTU MALAM (11/7), saya berkeliling di pusat kota Manado. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rekreasi santai ini malah bikin saya sumpek dan mulai stress. Betapa tidak? Ruas-ruas jalan di Kota Manado akhir-akhir ini, sering macet total, khususnya di sekitar perempatan jalan dan pusat-pusat perbelanjaan.

http://unhyonxeng.files.wordpress.com/2009/03/anak_jalanan_11.jpg

anak jalanan

Tapi yang menarik perhatian saya kali ini, yakni mulai banyaknya anak-anak jalanan di pintu masuk pusat perbelanjaan dan di sekita pusat perbelanjaan, untuk mengemis dengan cara berharap rasa iba dari setiap pengunjung yang melintas. Sudah parahkah inikah tingkat kemiskinan di kota Manado?

Meski mereka masuk dalam data dinas kesejahteraan sosial, tapi nyatanya perhatian dalam bentuk kebijakan, alokasi anggaran dan pembinaan masih sangat kurang. Salah satu indikasinya, hampir semua dinas atau instansi baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota mengaku belum memiliki data akurat tentang mereka. Di Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Utara misalnya, sampai saat ini belum ada data yang valid tentang anak jalanan, orang gila, gelandangan dan pengemis. Kalau pun ada, itu data dua tahun lalu.

Sesampai di rumah, saya langsung berselancar di dunia maya. Dan kini saya menemukan perkiraan jawaban dari tersebut. Banyaknya anak jalanan di Jakarta, karena pemerintah membiarkan terjadinya arus urbanisasi. “Penyebab banyaknya anak jalanan di Kota Jakarta akibat kurangnya upaya pemerintah mencegah urbanisasi,” ini kata Direktur Eksekutif Yayasan ISCO (Indonesian Street Chlidren Organization) Ramida Siringoringo.

Saya sepakat, masalah urbanisasi yang berlangsung sejak lama di Kota Jakarta dan mungkin termasuk di Manado, terjadi akibat banyak masyarakat pedesaan yang tergiur bekerja di ibukota karena menganggap kota besar sebagai tempat yang baik untuk mengadu nasib. Apalagi banyak masyarakat di pedesaan yang menjual lahan pertanian kemudian mengadu nasib ke ibukota. Tapi sayangnya, setelah sampai di ‘kota impian’ mereka akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, dan akhirnya menjadi bagian dari penduduk miskin.

Kondisi itu diperparah karena pemerintah tidak serius mengurusi anak-anak jalanan dan warga miskin di perkotaan. Untuk itu, pemerintah harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya di pedesaan, sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya urbanisasi, Jika lapangan pekerjaan ada di daerah mereka, tidak mungkin masyarakat dari pedesaan berlomba-lomba mengadu nasib ke kota besar.

BPS

Berdasarkan data Badan Pusat Stistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan pada 2008 yakni mencapai 41, 2 juta jiwa. Selain akibat arus urbanisasi, meningkatnya angka kemiskinan juga disebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok dan tidak stabilnya perekonomian dunia yang berimbas pada meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Inilah yang harus jadi perhatian serius pemerintah!
Pasal 34 UUD 1945 menyebut fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ini memang menjadi tantangan bagi siapa saja, yang mendapat legitimasi rakyat untuk memimpin. Fakir miskin dan anak-anak terlantar harus mendapat bantuan, dan bukan sekadar dijadikan obyek program. Begini bunyinya pasal 34 UUD 1945:

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

buku komprehensif

UUD 1945

Tapi sayangnya, meski kini sudah banyak lembaga sosial baik yang dikelola oleh organisasi keagamaan maupun organisasi sosial yang memberi perhatian terhadap mereka, upaya tersebut masih bergantung pada biaya pemerintah. Untuk itu, sudah saatnya, kita memang tidak bisa harus menyerahkan mereka pada lembaga sosial seperti itu. Bagi saya, pemerintah melalui instansi terkait harus mampu memapar kondisi sebenarnya di lapangan, mengkomunikasikan program kerjanya dan kemudian melaksanakannya.

Dan terahir, Pemerintah tak boleh berbohong! Kalau penanganan anak-anak jalanan sudah dilakukan, maka jangan sampai ada lagi anak jalanan berkeliaran di pusat-pusat ibukota. Mereka harus ‘diamankan’, dalam arti menampung, menyekolahkan, dan mengkaryakannya. Ini demi masa depan yang lebih baik.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Ketika Tulisan Saya tak Diposting Kompasiana

Filed under: Agama,Media — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,

Diposting di kompasiana.com pada 8 Juli 2009

PAGI TADI, saya cuma bisa menghela nafas, ketika membuka situs kompasiana.com. Kemarin sore sebelumnya, saya mengirimkan sebuah tulisan, berharap agar diposting pada malam harinya. Patut dimaklumi, kalau menjelang Pilpres 2009 ini, banyak tulisan yang antri di “public blog kompasiana”.

https://i0.wp.com/nurulloh.kompasiana.com/files/2009/06/kompasiana-baru.jpg

kompasiana

Sedihkah tulisan saya tak diposting Tim Redaksi Kompasiana? JIka dari kacamata profesi saya sebagai dosen yang tak terkait ilmu jurnalistik, tentulah hal itu tak mengapa. Tapi, hati kecil saya mengatakan, apa yang salah dalam tulisan saya berjudul “Lagi-Lagi Berita Miring Kerukunan Umat Beragama” ? Apakah tulisan saya provokatif dan dapat menimbulkan keresahan? Bagi saya tidak. Saya hanya memberi gambaran kerukunan umat beragama, setidaknya 5 tahun terakhir. Lantas, apa penyebab tulisan saya berstatus “unpublished”.

Saya sependapat dengan anggota PublicBlog Kompasiana, Ragile, yang prihatin masa edar public blogger pada beranda depan (home page) hanya 3 jam. Padahal sebelumnya masa edar sampai 7 jam yg memberi kesempatan hidup postingan public blogger lebih lama dan rasional. Mungkin inilah salah satu faktor, kenapa tulisan saya harus berkompetisi dengan puluhan anggota lainnya. Bisa jadi, tulisan saya dianggap Tim Redaksi kurang baik, dari beberapa tuliasan yang terbaik. Atau mungkin, tulisan saya kebetulan saat dilakukan moderasi “dinilai paling buruk” dari tulisan buruk.

Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, saya berusaha berpikir positif. Tulisan saya berjudul “Lagi-Lagi Berita Miring Kerunan Umat Beragama” tersebut, bisa jadi bernuansa sensitif menjelang Hari Pencontrengan dan mengandung unsur black campaign. Yang saya tahu dari ilmu jurnalistik, hal itu tak perlu dikuatirkan, karena ada sebuah sumber link berita yang saya ambil dari situs berita Jawapos.

Awalnya saya berharap, tulisan tersebut dapat menjadi sebuah sumber inspirasi bagi semua pembaca kompasiana, tentang adanya fakta kerukunan umat beragama di Indonesia. Selama ini, berita-berita tentang aksi massa yang melibatkan kelompok mayoritas dan minoritas, sering tak mendapat tempat yang layak di media untuk diperbincangkan.

Akhirnya, saya cuma bisa berharap, semoga ada solusi dari tulisan yang tak terpublikasi, apalagi hal itu mencakup kebenaran dan fakta di lapangan. Jika informasi penting belum dimuat di situs kompas.com, saya pikir, tak ada salahnya mengemasnya ke dalam kompasiana. Tak perlu khawatirlah, pembaca kompasiana adalah user internet yang sudah cukup cerdas, sehingga tak usah khawatir secara berlebihan. Apalagi ada tools interacktive di bagian bawah postingan, maka penulis dapat berkomunikasi dengan para komentator. Hare gene gak masalahlah, berinteraksi dengan komentator real, maupun yang fiktif.

Sebagai solusi teknis, mungkin sudah dapat dipertimbangkan, agar ada satu link baru di kompasiana yang isinya adalah postingan penulis PublicBlog Kompasiana yang berstatus unpublished. Dengan cara demikian, kita semua dapat mengetahui tulisan-tulisan apa yang “diharamkan” Tim Redaksi. Bisa jadi dengan cara demikian, tulisan tersebut lebih memicu semangat interaktif dengan pembaca lainnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Mimpi Saya Bersama Bu Mega, Pak Beye dan Pak Jeka

Filed under: Humor,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 3 Juli 2009

USAI menonton acara Debat Capres di televisi tadi malam, saya merasa lelah lantaran seharian tugas mengajar yang cukup berat. Belum lama tertidur, saya bermimpi satu pesawat dengan Bu Mega, Pak Jeka dan Pak Beye. Saya pun langsung terjaga karena pesawat itu mau jatuh.

Begini mimpi saya:

Saya bersama tim UNICEF Indonesia, di suatu siang berangkat menggunakan pesawat terbang menuju Jakarta. Rombongan ini jumlahnya hampir 100 penumpang, dan sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Puluhan anak tersebut merupakan penderita gizi buruk, yang dikumpulkan dari beberapa daerah seperti NTB, Pekalongan, Tegal dan Bekasi. Selama perjalanan di udara, suasana cukup menyenangkan.

Nah, rencama kami untuk tiba di Jakarta, mengalami perubahan mendadak. Ternyata pesawat militer yang membawa kami, harus mengubah arah ke-3 lokasi berbeda. Manurut Sang Pilot, dirinya diperintahkan untuk menjemput 3 capres yang baru saja berkampanye. Rupanya mereka ngotot dijemput, karena harus menghadiri acara debat di televisi malam nanti.

https://i0.wp.com/www.sudirodesign.com/album/album_42.jpg

ilustrasi

Akhirnya, pesawat yang kami tunpangi terisi sesak oleh penumpang, termasuk 3 penumpang tambahan, Bu Mega, Pak Jeka dan Pak Beye. Perjalanan pun dilanjutkan, dan kini hampir senja.

Cerita ini berubah menegangkan, menjelang pesawat mendarat di Jakarta. Kembali Sang Pilot memberi pengumuman. Oala, tapi kali ini dikatakan, bahwa mesin pesawat mengalami gangguan. Suasana pun jadi menegangkan. Para capres dengan sikap bijaksana, membantu memasangkan tas parasut ke para penumpang. Mereka berkilah, hanya memasang tas parasut, setelah seluruh penumpang telah terpasang tas parasut.

Satu per satu penumpang terjun melalui pintu darurat.

Nah, kini tinggal kami berempat. Ternyata Sang Pilot diam-diam telah melompat dari pintu depan. Pesawat pun tak lama lagi menghujam ke bumi. Sayangnya, hanya tersisa 3 tas parasut.

Pak Jeka langsung berkata, “Lebih cepat, lebih baik!”. Ia pun langsung memasang tas parasut, dan tanpa pamit lagi melompat ke luar pesawat.

Pak Beye panik karena merasa didahului. Dengan cekatan tangannya meraih satu tas, dan berkata “Saya harus melanjutkan tugas.” Ia pun bergegas melompat dengan tas yang belum terpasang.

Kini, tinggal saya dan Bu Mega. Waktu pun mulai menipis. Bu Mega berkata, “Nancy, biarlah kamu memakai tas saya. Kamu masih muda. Pasti punya harapan hidup lebih lama daripada saya.”

Saya tersenyum dan meraih tangan Bu Mega ke arah pintu keluar. “Bu, tas parasutnya masih ada 2 kok. Kayaknya Pak Beye mengambil tas mengajar saya.” Tas parasut terpasang, dan kami penumpang terakhir yang melompat ke luar pesawat. Dan, saya pun terbangun dari tidur.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

11 Agustus 2009

Bedanya Kesebelasan Sriwijaya FC dan Brasil

Filed under: Olahraga — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di Kompasiana.com pada 29 Juni 2009

ADA kesamaan menangnya Sriwijaya FC di Final Copa Dji Sam Soe Indonesia dan kesebelasan Brasil di final Piala Konfederasi. Satu yang tak terlupakan adalah drama mendebarkan di babak ke-2. Kemenangan Sriwijaya FC Minggu malam (28/6), diwarnai oleh aksi-walk out pemain Persipura Jayapura. Sedangkan kemenangan Brasil Senin dini hari (29/6), merupakan hasil fantastis Tim Samba, meski Amerika Serikat sempat unggul 2 gol di babak pertama.

Menarik? Ya, dari kacamata sportivitas!

Saya sampai-sampai menahan nafas, ketika TVOne yang menayangkan siaran langsung Sriwijaya FC Vs Persipura di Stadion Stadion Sriwijaya, Jakabaring, Palembang. Betapa tidak? Pada menit ke-60, kiper favorit saya, Ferry Rotinsulu, melakukan manuver di dalam kotak pinalti dan sempat menjatuhkan gelandang Ernest Jeremiah, hingga akhirnya bola mengenai tangan pemain back Tsimi Jaques.

Masalah muncul saat wasit Purwanto tak meniup peluit tanda pelanggaran, dan justru mengartumerah Ernest Jeremiah karena memprotes keputusannya. Ini membuat kubu Persipura marah. Sejumlah pemain Persipura mendorong wasit dan mengakibatkan kericuhan di lapangan. Tim “Mutiara Hitam” kemudian mogok bermain sehingga laga dihentikan beberapa menit.

Biasalah. Aksi WO belum lengkap tanpa emosi. Fasilitas tempat duduk official dirusak, kemudian mulai muncul ‘hujan’ botol mineral dari arah penonton. Cuplikan videonya bisa dilihat di sini.

Akhirnya, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid harus turun ke lapangan dan meminta keterangan dari wasit. Bahkan, dalam kondisi vakum itu, kru TVOne sempat-sempatnya mewawancarai Nurdin. Beberapa menit kemudian, Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin pun turun dari bangku penonton. Inilah puncak ketegangan itu! Di tengah lapangan, Alex dengan microphone meminta para suporter Sriwijaya FC, untuk tidak melakukan keonaran usai pertandingan.

Wasit Purwanto yang kabarnya memimpin pertandingan terakhir menjelang pensiun, akhirnya memutuskan Sriwijaya FC sebagai pemenang. Sang juara berhak mendapat hadiah uang senilai dua miliar rupiah, sementara runner-up memperoleh Rp 750 juta. Patut disayangkan, kemenangan Sriwijaya tercoreng oleh sportivitas pemain Persipura.

Lucio meluapkan kegembiraan setelah mencetak gol kemenangan 3-2 atas Amerika Serikat di final Piala Konfederasi.

Beberapa jam setelah Sriwijaya FC Vs Persipura dengan skor 1-0, pertandingan menentukan muncul di layar kaca. Uniknya, Brasil mampu membalik ketinggalan 0-2 menjadi kemenangan 3-2 atas Amerika Serikat di final Piala Konfederasi.

Piala Konfederasi yang merupakan laga antar-benua, membuat Brasil mempertahankan gelar yang mereka menangkan pada 2005. Brasil kini menjadi satu-satunya negara yang mampu juara Piala Konfederasi tiga kali, melewati Perancis yang baru juara dua kali. Brasil yang semakin tertinggal menaikkan tensi serangan di babak ke-s dan langsung menggebrak dan menciptakan gol melalui Luis Fabiano dan Lucio.

Bagi saya, inilah semangat sportivitas itu !

Tim yang kalah tapi pertandingan belum usai, tidak perlu frustasi. Yang saya tahu, 1 menit pun bisa mengubah keadaan di akhir babak ke-2. Dan memang sejarah sudah mencatat, bahwa babak ke-2 pertandingan sepak bola selalu menimbulkan kejutan yang fantastis, dan bukan kejutan yang memalukan. (Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Ada Angklung di Singapura

Filed under: Budaya,Mancanegara,Pendidikan — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,
Diposting di Kompasiana.com pada 15 Juni 2009
ADA angklung di Singapura? Ya, itu biasa. Banyak toko di Negeri Singa itu menjual pernak-pernik alat musik modern maupun tradisional. Jadi, jika ada toko yang menjual alat musik buatan Indonesia, itu wajar-wajar saja. So what githu lhoch ?
Nah, yang saya baca di kompas.com ini lain. Judulnya, “Awas, Siswa Sekolah di Singapura Pun Diharuskan Belajar Angklung!” Hi… Kayaknya ada kesan seram, ya?
Ilustrasi: “Selain unik alat musik tersebut memiliki makna yang kuat dan dapat dipelajari oleh siswa, sehingga sekolah di negara itu mengharuskan siswa-siswinya mempelajari lebih dalam tentang kesenian asal Indonesia,” kata Yose, di Jakarta, Sabtu, (13/6).

Dalam berita tersebut, ratusan sekolah dasar di Singapura dan Malaysia dikabarkan memiliki dan mempelajari alat musik tradisional asal Indonesia, yakni angklung dan gamelan. Menurut Yose Rizal Manua, dosen Institut Kesenian Jakarta, banyak sekolah di luar negeri kini memiliki alat musik tradisional asal Indonesia.

Anak SD di Singapura sudah memiliki angklung? Alamak! Saya sewaktu bersekolah di Manado, boro-boro bisa memiliki angklung. Lha wong memainkannya saja, masih ngawur dan asal-asalan, tanpa koreksi dari sang guru kesenian. Tapi, mungkin bedanya, saya lumayan mahir memainkan salah satu alat musik bambu, khas Sulawesi Utara. Tapi, itu dulu.

Kembali ke soal angklung sekolah di Singapura. Ternyata, ada 172 sekolah dasar di negara tersebut menyimpan alat musik angklung. Luar biasa, 150 sekolah di negara itu juga memiliki alat musik tradisional asal Pulau Jawa yaitu gamelan lengkap. Saya berpikir, ini pasti bukan karena instruksi dari pemerintah, agar sekolah dasar di sana mengoleksi angklung dan gamelan. Saya yakin, kondisi ini adalah sebuah kebutuhan materi pendidikan, terlebih sangat disukai anak-anak.

Yang membuat saya ingin curhat di blog kompasiana bersama teman-teman, yakni keprihatinan saya atas komentar pembaca berita tersebut. Hingga siang ini (15/6) atau kurang 24 jam sejak berita dari Kantor Berita Antara diposting kompas.com, komentar yang masuk sudah 63 tulisan! Bagi saya, ini sudah cukup menjadi perhatian pemerintah.

Komentar para pembaca yang isinya bernada prihatin, sedih, kritik dan bahkan bangga, campur aduk menjadi satu. Bangga memang, saya akui. Tapi, patut dipertanyakan, apa peran pemerintah untuk merespon kondisi tersebut, khususnya melindungi hak paten angklung di dunia internasional, sekaligus membudayakan angklung di negeri sendiri. Jelas, ini pekerjaan yang harus didukung semua lapisan masyarakat.

Perajin sedang mewarnai batik di perkampungan perajin batik di kawasan Sampangan, Pekalongan, Jawa Tengah.

Angklung adalah contoh kecil warisan budaya Tanah Air yang patut dilindungi, secara sosial dan hukum. Jangan sampai, ada negara lain yang mengklaim angklung atau pun alat musik lainnya. Jika ini terjadi, saya pun akan berkomentar di berita tersebut, “Saya malu, angklung direbut negara lain.”

Bukan cuma angklung. Pengrajin batik Kota Pekalongan Jawa Tengah misalnya, saat ini masih harap-harap cemas, karena hingga kini belum mendapat pengakuan dari UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Pengakuan dari UNESCO tersebut, dijadwalkan dilakukan pada Oktober 2009. Upaya mengusulkan kerajinan batik bisa diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia melalui proses panjang dan cukup rumit karena harus memenuhi persyaratan, seperti penyiapan naskah akademik tentang batik dan adanya dukungan dari pemerintah.

Ini  bukan hanya tugas pemerintah sekarang. Pemerintah yang terbentuk periode 2009-2014 pun, harus bekerja ekstra, agar budaya nasional menjadi lestari, dan terlindung dari aksi-pencurian budaya dengan dalih liberalisme. (Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.