[SUARA HATI] nancy samola

21 Agustus 2009

“Selamat Jalan Evert, Selamat Datang Evert Jr.”

Filed under: Pendidikan,Politik,Terorisme — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

HARI INI Senin (20/7) jenasah korban pemboman Hotel JW Marriott, Evert Mokodompis, 33 tahun, rencananya dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Joglo Jakarta Barat. Almarhum Evert adalah seorang dari 9 korban tewas akibat aksi teror bom, di 2 hotel berbintang Jakarta Jumat lalu (17/7).

Berkas:Bom2009.jpg

Bom Mega Kuningan

Evert meninggalkan istri dan dua anaknya. Anak pertama Angel berusia empat tahun, sedangkan anak yang kedua, baru saja lahir pada Sabtu 18 Juli 2009, setelah ledakan bom merenggut kehidupan Evert. Istri korban, bernama Ratna, terpukul dengan fakta kematian itu. Ratna baru diberitahu kematian Evert hari Minggu (19/7).

Sedihnya membaca berita ini. Almarhum Evert adalah Chef Banquet yang berstatus sebagai karyawan di Hotel JW Marriot. Saat bertugas di hari nahas, ia tengah menantikan kelahiran putera keduanya. Sehari setelah Evert tewas, Sabtu (18/7), sang istri melahirkan.

Dalam pengamatan saya, Sang Istri dan anak almarhum baru saja lolos dari maut. Dan, berhasilnya proses persalinan ini atas dukungan pihak keluarga dan kerabat, yang ‘sengaja’ tak memberi-tahukan informasi keberadaan korban ketika ledakan bom terjadi.

Lahirnya bayi Evert sengaja dikondisikan, agar Sang Ibu ‘diasingkan’ dari gencarnya berita dan publikasi bom di media massa khususnya televisi. Jika Sang Ibu mengetahui adanya peristiwa tersebut menjelang persalinan, dikhawatirkan akan mengguncang mental dan jiwanya, yang pada akhirnya dapat mengganggu proses persalinan.

Semoga ini dapat menjadi contoh untuk kita semua, agar senantiasa menjaga proses persalinan ibu yang akan melahirkan, demi keselamatan ibu dan sang bayi. Meski Sang Teroris berhasil mencabut sejumlah nyawa manusia, tapi nyawa seorang bayi dapat terselamatkan dari teror tak langsung.

Inilah good news tersebut!

Kita jangan sampai terbelenggu oleh pemberitaan duka korban dan lambannya penyelidikan aparat penegak hukum. Mari, jadikan sekecil apapun berita kemenangan korban, di balik teror bom Mega-Kuningan. Bagi saya, berita seperti ini adalah kekalahan Teroris, yang awalnya merasa berhasil menebar kecemasan di kalangan masyarakat. Minimal, tak 100 persen teror yang telah diciptakan, sudah mampu membuat masyarakat takut.

Media harus berperan kuat memberikan penguatan-penguatan sosial. Seburuk apapun peran pemerintah dan aparat dalam mengungkap tabir aksi-teror, kondisi tatanan publik seperti ini merupakan kemenangan tersendiri dalam upaya memerangi kejahatan terorisme. Masyarakat tentunya secara tak sadar telah paham untuk menyembunyikan informasi, agar tak mengganggu proses alamiah dalam sebuah kehidupan.

Tapi yang jelas, Pemerintah juga tak boleh lupa tanggung jawabnya. Selain menangkap dalang di balik ini semua, para korban bencana harus mendapat perhatian serius, demi kelangsungan hidup mereka selanjutnya.

Cukup sudah cerita pilu para korban teror bom sebelumnya. Sudah banyak kisah menyedihkan para korban yang menderita cacat seumur hidup, sulit mendapat tempat layak di masyarakat. Maka mulai saat ini, siapa pun yang menjadi korban, sudah selayaknya dilindungi dan dipelihara oleh negara. Mereka yang kehilangan pekerjaaan, wajib diberikan tunjangan sosial yang layak. Dan mereka yang menjadi yatim-piatu, harus diberikan pendidikan hingga dewasa. Itulah kekalahan teroris!

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

19 Agustus 2009

Sekolah Gratis itu Benar-benar Gratis?

Filed under: Pendidikan — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,

Diposting di kompasiana.com pada 13 Juli 2009

”HORE..! Akhirnya hari ini aku sekolah!” begitu teriak Si Ucok pagi tadi (13/7) sambil melangkahkan kaki keluar rumah menuju sekolah barunya. Kali ini, kegembiraan Ucok bukan tanpa alasan. Anak kedua dari empat bersaudara ini, sejak Taman Kanak-kanak atau 2 tahun lalu, belum pernah mengenyam pendidikan formal.

Begitu gembiranya Si Ucok, sampai-sampai ia tak mengetahui di balik perjuangan orang tua untuk menyekolahkannya. Ia hanya tahu, bahwa SDN 02 Pagi Lebak Bulus yang ditujunya itu, termasuk sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah. Anak kelahiran Jakarta berdarah Batak ini hanya bisa bergembira, kalau seluruh anak-anak saat ini mendapatkan fasilitas gratis dari pemerintah. Benarkah seluruhnya gratis? Eit, tunggu dulu.

Program sekolah gratis memang sangat membantu orang tua murid, karena mereka tidak lagi harus membayar uang pangkal ataupun iuran perbulan sang anak. Apalagi di saat kondisi ekonomi yang tak menentu, dimana masih ada ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan daya beli masyarakat yang rendah, program sekolah gratis mendapat sambutan antusias khususnya dari kalangan keluarga miskin.

Tapi sebaliknya bagi pihak sekolah, anggaran untuk sekolah gratis ternyata dirasakan masih kurang memadai. Akibat kondisi ini, pihak sekolah harus mencari cara untuk memenuhi kekurangannya. Caranya tentu beragam. Mulai dari pungutan resmi hingga pungutan tak resmi. Lho, kenapa ini bisa terjadi?

Salah satu penyebabnya, yakni minimnya anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah. Coba bayangkan, setiap sekolah harus mampu mengelola anggaran program sekolah gratis berasal dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pemda sebesar Rp.400.000 persiswa pertahun, serta Bantuan Operasional Pemda (BOP) Rp.720.000 persiswa pertahun. Kondisi ini, tentu berbeda jika 10 tahun lalu diberikan oleh pemerintah dengan nilai yang sama.

Pihak sekolah baru merasakan sulitnya mengelola dana tersebut, ketika perlu mengikuti kegiatan peningkatan kualitas anak didik, seperti olah raga, perlombaan hingga atraksi kesenian ekstrakulikuler. Di sinilah masalah itu akan timbul. Murid-murid yang berasal dari keluarga miskin, pada momen-momen tersebut akan merasa terpinggirkan, karena tak memiliki biaya lebih dari orang tua mereka. Akhirnya, mereka menjadi penonton di sekolahnya sendiri, padahal bisa jadi, mereka memiliki kualitas yang lebih baik daripada murid yang berkantong tebal.

Murid Miskin di Kota dan Desa

Persoalan dana pendidikan untuk sekolah gratis mulai terasa, ketika kegiatan belajar-mengajar berjalan. Di sinilah terlihat, bahwa tak ada pendidikan yang gratis! Kegiatan dan sarana infratruktur apapun, tentu membutuhkan biaya. Tak dapat dipungkiri, bahwa kualitas peserta didik dan tenaga pendidik, harus ditunjang oleh faktor dana. Meski demikian, sesuai falsafah dunia pendidikan, faktor dana bukanlah satu-satunya penentu kegiatan belajar-mengajar.

“Inilah filosofi yang harus dipertahankan!”

Masalah kemiskinan merupakan masalah bersama, baik di kota maupun di desa. Ketika teknologi informasi tak lagi menjadi monopoli, kini kondisi kemisikinan hanya beda-beda tipis. Tapi dalam konteks pendidikan, murid Si A yang tiap hari diantar-jemput oleh sopir pribadi di kota besar, tentu kualitasnya belum tentu sama dengan murid Si B, yang setiap hari berjalan kaki 10 kilometer menuju sekolah gratis.

Tentunya ini akibat merupakan faktor lingkungan, yang terkait faktor internal diri murid. Jika Si A terbiasa hidup mewah, ber-blackberry-ria dan mendapat uang saku Rp.1 juta per minggu, belum tentu ia mampu menghapal rumus ilmu pasti di sekolah. Demikian sebaliknya, bisa jadi Si B memiliki semangat tinggi belajar dan bahkan dapat berimprovisasi dengan alam, otaknya lebih encer daripada Si A.

Nah, untuk yang ini, pemerintah harus mampu bersikap bijaksana. Anak-anak seperti ini seharusnya mendapatkan posisi yang layak, karena merupakan cikal-bakal aset bangsa. Mereka ini bagaikan jarum yang terdapat di tumpukan jerami. Sayang sekali, jika mereka harus putus sekolah karena biaya ini-itu di sekolah bertajuk “sekolah gratis”.

Akhirnya, mudah-mudahan langkah Si Ucok memasuki sekolah barunya hari ini tak sia-sia. Apalagi orang-tuanya selama ini menyembunyikan caranya membeli baju, tas, dan buku Si Ucok, meski harus mengutang ke kerabat. Dan semoga, niatnya untuk mendapat fasilitas pendidikan tahun ini, tak tercoreng dengan godaan korupsi, sehingga harapannya pupus di tengah jalan. Saya sangat berharap demikian.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

n formal.

11 Agustus 2009

Ada Angklung di Singapura

Filed under: Budaya,Mancanegara,Pendidikan — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,
Diposting di Kompasiana.com pada 15 Juni 2009
ADA angklung di Singapura? Ya, itu biasa. Banyak toko di Negeri Singa itu menjual pernak-pernik alat musik modern maupun tradisional. Jadi, jika ada toko yang menjual alat musik buatan Indonesia, itu wajar-wajar saja. So what githu lhoch ?
Nah, yang saya baca di kompas.com ini lain. Judulnya, “Awas, Siswa Sekolah di Singapura Pun Diharuskan Belajar Angklung!” Hi… Kayaknya ada kesan seram, ya?
Ilustrasi: “Selain unik alat musik tersebut memiliki makna yang kuat dan dapat dipelajari oleh siswa, sehingga sekolah di negara itu mengharuskan siswa-siswinya mempelajari lebih dalam tentang kesenian asal Indonesia,” kata Yose, di Jakarta, Sabtu, (13/6).

Dalam berita tersebut, ratusan sekolah dasar di Singapura dan Malaysia dikabarkan memiliki dan mempelajari alat musik tradisional asal Indonesia, yakni angklung dan gamelan. Menurut Yose Rizal Manua, dosen Institut Kesenian Jakarta, banyak sekolah di luar negeri kini memiliki alat musik tradisional asal Indonesia.

Anak SD di Singapura sudah memiliki angklung? Alamak! Saya sewaktu bersekolah di Manado, boro-boro bisa memiliki angklung. Lha wong memainkannya saja, masih ngawur dan asal-asalan, tanpa koreksi dari sang guru kesenian. Tapi, mungkin bedanya, saya lumayan mahir memainkan salah satu alat musik bambu, khas Sulawesi Utara. Tapi, itu dulu.

Kembali ke soal angklung sekolah di Singapura. Ternyata, ada 172 sekolah dasar di negara tersebut menyimpan alat musik angklung. Luar biasa, 150 sekolah di negara itu juga memiliki alat musik tradisional asal Pulau Jawa yaitu gamelan lengkap. Saya berpikir, ini pasti bukan karena instruksi dari pemerintah, agar sekolah dasar di sana mengoleksi angklung dan gamelan. Saya yakin, kondisi ini adalah sebuah kebutuhan materi pendidikan, terlebih sangat disukai anak-anak.

Yang membuat saya ingin curhat di blog kompasiana bersama teman-teman, yakni keprihatinan saya atas komentar pembaca berita tersebut. Hingga siang ini (15/6) atau kurang 24 jam sejak berita dari Kantor Berita Antara diposting kompas.com, komentar yang masuk sudah 63 tulisan! Bagi saya, ini sudah cukup menjadi perhatian pemerintah.

Komentar para pembaca yang isinya bernada prihatin, sedih, kritik dan bahkan bangga, campur aduk menjadi satu. Bangga memang, saya akui. Tapi, patut dipertanyakan, apa peran pemerintah untuk merespon kondisi tersebut, khususnya melindungi hak paten angklung di dunia internasional, sekaligus membudayakan angklung di negeri sendiri. Jelas, ini pekerjaan yang harus didukung semua lapisan masyarakat.

Perajin sedang mewarnai batik di perkampungan perajin batik di kawasan Sampangan, Pekalongan, Jawa Tengah.

Angklung adalah contoh kecil warisan budaya Tanah Air yang patut dilindungi, secara sosial dan hukum. Jangan sampai, ada negara lain yang mengklaim angklung atau pun alat musik lainnya. Jika ini terjadi, saya pun akan berkomentar di berita tersebut, “Saya malu, angklung direbut negara lain.”

Bukan cuma angklung. Pengrajin batik Kota Pekalongan Jawa Tengah misalnya, saat ini masih harap-harap cemas, karena hingga kini belum mendapat pengakuan dari UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Pengakuan dari UNESCO tersebut, dijadwalkan dilakukan pada Oktober 2009. Upaya mengusulkan kerajinan batik bisa diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia melalui proses panjang dan cukup rumit karena harus memenuhi persyaratan, seperti penyiapan naskah akademik tentang batik dan adanya dukungan dari pemerintah.

Ini  bukan hanya tugas pemerintah sekarang. Pemerintah yang terbentuk periode 2009-2014 pun, harus bekerja ekstra, agar budaya nasional menjadi lestari, dan terlindung dari aksi-pencurian budaya dengan dalih liberalisme. (Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.