[SUARA HATI] nancy samola

28 Juli 2009

Mempersoalkan dan Mendukung Monolog Butet

Filed under: Budaya,Politik,Seni — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , , ,

Diposting di Kompasiana pada 12 Juni 2009

SEPERTI biasa, setiap akhir pekan, saya melakukan searching berita populer di kompas.com. Kali ini, ada hal yang menarik mata saya saat meng-klik berita di tools halaman nasional. Beberapa berita populer yang masuk jajaran teratas, ternyata diwarnai oleh atraksi monolog Butet Kertaradjasa, seniman favorit saya. Kok bisa menarik perhatian pembaca?

Nah, ini dia persoalan, dan sekaligus bukan persoalan menarik itu.

BUTET KERTARADJASA, by hariadi saptono

Ketenaran Mas Butet di dunia politik saat ini, dipicu oleh deklarasi Pemilu Damai Presiden dan Wakil Presiden 2009, yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rabu malam (10/6) di Hotel Bumikarsa Bidakara Jakarta. Persoalan muncul, ketika setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden diberi kesempatan untuk mempersembahkan salah satu kesenian.

Selain menghadirkan kesenian Kentongan yang berasal dari daerah Purbalingga, Jawa Tengah dan lagu “Gebyar-Gebyar” yang diciptakan oleh adik Mega, Guruh Soekarnoputra, Pasangan capres dan cawapres Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto menghadirkan monolog yang diperagakan Butet.

Kesenian yang memukau ini mendapat penghormatan dari para hadirin yang datang dengan senyum dan tepuk tangan. Nah anehnya, pasangan SBY dan Boediono tampak tidak tersenyum sedikit pun. Tersinggungkah Pak Beye?

Saya sangat sepakat dengan tampilan monolog Mas Butet, yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia lima tahun terakhir yang cukup menyedihkan. Apalagi menurutnya, perlu gebrakan dari pemimpin yang berpihak kepada rakyat dan membawa kemajuan bangsa.

Sepanjang Butet ber-monolog ditayangkan, nyaris tak ada senyum yang diberikan oleh Pak beye. Saya lihat, begitu pula dengan Boediono. Memang perlu diakui, inti monolog Mas Butet kerap “menyindir” produk-produk pemerintahan yang dipimpin oleh Pak Beye. Mulai dari banyaknya utang, direbutnya hak paten batik dan kesenian reog, Blok Ambalat, para tenaga kerja wanita (TKW) yang kerap disiksa, pesawat militer yang berturut-turut jatuh, hingga upaya pemberantasan korupsi yang tak maksimal.

“Ada anekdot, jangankan untuk bertempur, pesawatnya sudah jatuh duluan. Upaya pemberantasan korupsi masih tebang pilih,” tutur Butet diikuti tepuk tangan hadirin, tetapi tidak dengan SBY.

Nah, persoalan tak menarik tapi populer, muncul. Akibat aksi seni tersebut, tim kampanye nasional pasangan capres-cawapres SBY-Boediono menganggap acara deklarasi pemilu damai yang diselenggarakan KPU, Rabu malam kemarin, telah dinodai oleh pasangan Megawati-Prabowo dengan orasi yang menyerang pasangan capres lainnya.

Anggota tim kampanye nasional SBY-Boediono, Andi Malarangeng kini balas sindiran Mas Butet yang menyerang capres lain itu, mungkin bukti ketidakmampuan pasangan Megawati-Prabowo untuk mengkritik atau menyerang pasangan lain.

Oke, stop! Saya tak ingin melanjutkan pro-kontra monolog Mas Butet.

Yang jelas, KPU sedang mengevaluasi sejumlah atraksi seni yang disuguhkan pasangan capres-cawapres dalam deklarasi pemilu damai itu, untuk memastikan pilpres bebas dari perselisihan. Meski ini adalah tugas Bawaslu dan agak di luar kewenangan KPU, tapi komitmen pemilu damai perlu mendapat apresiasi.

Saya berpendapat, bukan itu persoalan yang signifikan.

Bagi saya, monolog Mas Butet tidak perlu ditanggapi reaktif dan emosional. Apalagi, pesan yang diungkapkan Mas Butet, yang bukan pria berdarah Batak itu, merupakan aspresiasi seni semata.

Mungkin hanya kemasannya yang keliru. Jika monolog Mas Butet ditempatkan di opening atau clossing deklarasi di luar penampilan seni capres-cawapres, bisa jadi tak ada yang protes. Lha wong mana berani memprotes KPU–Sang Wasit Pertandingan Pemilu–apalagi menjadi tuan rumah acara?

Dan terakhir, jika Mas Butet ditangkap polisi gara-gara atraksi monolog-nya, saya siap pasang badan. Apabila Mas Butet dipenjara, maka berarti kebebasan perpendapat di negeri ini, sudah tak terjamin lagi.

Tak ada sikap terhormat melebihi Mas Butet, saat tampil berani bicara lantang di depan penguasa. Apalagi sudah lama sekali bahkan saya sudah lupa kapan ada orang yang berani bicara demikian di hadapan seorang Presiden. Rasanya, saya pernah bermimpi menjadi Mas Butet saat ber-monolog. Setidaknya, mimpi itu sudah menjadi kenyataan, meski peran saya diambil.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Ibu Negara dan Jilbab Barunya

Filed under: Agama,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , , , ,

Diposting di Kompasiana.com pada 31 Mei 2009

TAK BIASANYA, Ramlah Umar, sahabat saya yang juga aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menelepon saya dan langsung curhat soal perkembangan politik di Jakarta. Memang, sudah lama kami tak bersua, sejak tahun lalu saya di Manado.

Kali ini, Ela–sapaan sahabat saya itu–bercerita tentang kegiatannya beberapa waktu lalu, saat PMII menggelar acara Hari Kelahiran PB PMII di Balai Kartini Jakarta. Dalam kegiatan itu, Ibu Ani Yudhoyono hadir sebagai tamu undangan. Tapi kali ini sungguh berbeda. Berbeda dengan biasanya, kali ini Sang Ibu Negara tampil mengenakan jilbab dan busana Muslim.

Di sinilah ‘gosip’ kami menghangat.

Saya langsung bertanya, apa yang dilihatnya itu benar-benar Ibu Ani Yudhoyono? Saya cuma khawatir, kalau Ela keliru. Tapi ternyata, memang benar Ibu Ani. Karena setelah mengikuti acara seremoni PMII, kalangan jurnalis langsung berupaya menodong sejumlah pertanyaan. Tentunya, terkait penampilan baru Ibu Ani.

Berita hebohnya lagi, Ibu Ani Tampil Berjilbab di Poster yang dibagikan kepada para peserta Silaturahim Nasional Koalisi Parpol Pendukung SBY-Boediono, Sabtu (30/5) di PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat. Istri SBY, Ani Yudhoyono, tampak ayu dengan setelan pakaian muslim dan jilbab bernuansa warna hijau.

Poster itu sendiri merupakan poster berisi “Program Pro Rakyat SBY”, yang diletakkan di kursi para pendukung koalisi parpol yang merupakan pengurus partai koalisi dari seluruh Indonesia. Tampilan berbeda yang dikenakan Ibu Ani memang menjadi menarik, ditengah isu jilbab yang santer dijadikan sebagai salah satu daya tarik.

Salah satu partai koalisi, Partai Keadilan Sejahtera, menjadi partai yang sangat terbuka menyuarakan bahwa jilbab menjadi salah satu faktor yang bisa mengajak pemilih untuk memilih pasangan tersebut. Apalagi, istri pasangan kompetitor, Jusuf Kalla dan Wiranto, mengenakan jilbab. Partai Demokrat sendiri berharap, isu jilbab tidak dipolitisasi menjelang pemilu presiden.

Sebelumnya, Koordinator Operasional Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Yahya Sacawirya, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan ikut-ikutan terbawa dengan isu tersebut dan membiarkan semuanya mengalir secara alamiah.

Lantas, apa alasan Ibu Ani tiba-tiba berjilbab? Itu yang membuat saya penasaran, apalagi sejumlah situs berita internet tak memuat pernyataan beliau. Saya berusaha berpikir logis, mungkin jika berita tentang penampilan busana baru Ibu Ani, masih dianggap kurang menarik, jika dibandingkan dengan perang wacana capres-cawapres.

Saya mulai mencari tahu asal mula busana Ibu Ani. Hati saya kemudian sedikit tergelitik, ketika membaca berita Hati Kader PKS Ada di Jilbab Istri JK-Wiranto. Dalam berita itu, Partai Keadilan Sejahtera mengakui bahwa hati sebagian kadernya berpihak pada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto meskipun keputusan formal partai memutuskan berkoalisi dengan Demokrat dan menyukseskan pasangan SBY-Boediono. Malah menurut Wakil Sekjen DPP PKS Zulkieflimansyah, alasan keberpihakan pada JK-Wiranto cukup sederhana, istri dari kedua kandidat itu mengenakan jilbab.

Inikah alasan Ibu Ani yang lantas mengenakan busana Muslim?

Saya berupaya mencermatinya dan mengesampingkan ranah agama. Apalagi setelah berita itu bergulir, Partai Demokrat mengaku telah menegur Presiden PKS Tifatul Sembiring karena salah satu kadernya mengembuskan isu jilbab istri-istri pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menyudutkan pasangan SBY-Boediono. Partai Demokrat menilai hal tersebut sebagai politisasi atribut agama menjelang pemilu presiden.

Bagaimana dengan Bu Mega? Tampaknya Capres Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapres, dengan jargon Mega-Pro, menyatakan enggan latah berjilbab. Menurut Mega, sejak ia kecil, Bung Karno selalu mengatakan agar dirinya berpakaian sesuai jati dirinya tanpa latah mengikuti orang lain. ”Jadilah diri sendiri. Bagi saya hal itu yang sangat penting,” begitu kata Mega.

Kembali ke soal busana baru Ibu Ani. Saya sangat sependapat dengan Ibu Negara, jika sikapnya mengenakan jilbab dan busana Mulim, berasal dari niat dan hati yang bersangkutan. Tentunya, ini adalah sikap pribadi dari seorang perempuan Muslim.

Sama halnya dengan Ela, sahabat saya, yang menjelang Pemilu Legislatif 2009 lalu, tiba-tiba mengenakan jilbab. Awalnya saya agak kikuk, tapi ternyata itu cuma sementara. Ela tetap menjadi salah satu sahabat saya, yang enak diajak ‘gosip’ soal politik. Bahkan ketika ia gagal meraih kursi di DPR RI, Ela tetap mengenakan jilbabnya. Itu yang saya salut.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

27 Juli 2009

Iklan SBY : “Pemimpin” atau “Orang” Berpengaruh ?

Filed under: Mancanegara,Media — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , , ,

Diposting di Kompasiana.com pada 19 Mei 2009

USAI pulang berlibur dari Pulau Lihaga bersama kawan-kawan, saya kembali bersama komputer jadul dan internet lemot di kamar saya. Setelah “on”, saya membuka email dari kawan-kawan. Salah satu yang menarik, teman saya meminta menganalisis iklan kampanye di situs berita internet.

Saya langsung membuka situs favorit saya kompas.com. Mulai ada yang aneh saat saya sebuah iklan di halaman utama situs kompas.com.

Di pojok kanan layar ada iklan animasi “SBY Presidenku” yang jika diklik, langsung tampil ke halaman utama sbypresidenku.com. Setelah melihat komentar beberapa anggota masyarakat yakni dari kalangan pedagang, perempuan, kawula muda dan petani dalam iklan tersebut, kemudian muncul logo “TIME”.

Di dalam iklan itu, muncul tulisan “Selamat Atas Terpilihnya Presiden SBY sebagai orang paling Berpengaruh di Dunia” dan “Bangsa Indonesia Turut Bangga Atas Penghargaan Dunia terhadap salah satu Putra Terbaik Bangsa”

Di sinilah persoalan itu muncul.

Saya coba telusuri situs resmi “TIME” di time.com, kemudian mencari berita tentang 100 orang berpengaruh di dunia. Dalam The 2009 TIME 100 Finalists – TIME, ternyata tidak ada nama Susilo Bambang Yudhoyono. Di kategori tersebut sangat banyak latar belakang orang-orang yang dianggap berpengaruh, seperti politisi, ekonom, tokoh agama, olahragawan, musisi hingga bintang film.

Nama Pak Beye, yang akrab disebut-sebut di blog ini, hanya terdapat di kategori Leaders & Revolutionaries. Kategori ini termasuk kategori tokoh-tokoh dunia lainnya di Builders & Titans, Artists & Entertainers, Heroes & Icons dan Scientists & Thinkers.

Di tampilan situs tersebut, memang benar ada profil Pak Beye yang ditulis Anwar Ibrahim, lengkap dengan sikap beliau berpose salam hormat ala militer.

Lantas, kenapa Pak Beye menghilang dari daftar The 2009 TIME 100 Finalists? Ini cukup menarik, tapi saya tak sangggup menjawabnya. Jika saya pemilik “TIME” mungkin sudah saya jewer anak buah saya, kenapa malah memasukkan orang tambahan. Yang bikin kepala saya pusing, justru ada tokoh fiktif, yang justru populer di kalangan pembaca “TIME”.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

24 Juli 2009

Carlos Pardede Vs Boediono

Filed under: Media,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di Kompasiana, 14 Mei 2009

KEKERASAN terhadap jurnalis kembali terjadi. Anehnya, kasus terbaru kali ini, justru terjadi ‘hanya’ dipicu oleh persoalan tata tertib tamu di Gedung Bank Indonesia.

untitled

Carlos Pardede, jurnalis SCTV

Adalah Carlos Pardede, Sang Reporter stasiun televisi SCTV, yang dianiaya petugas keamanan BI, saat hendak melakukan peliputan di Gedung Bank Indonesia, Jakarta (13/5). Keributan terjadi di pintu gerbang Gedung BI. Saat itu, Carlos bermaksud mencari kesempatan mewawancarai Gubernur BI Boediono, yang dipastikan dipinang Susilo Bambang Yudhoyono menjadi cawapres.

Terus terang, saya tak kenal satpam BI, apakah mereka selama ini bertindak represif dengan para tamu. Saya juga belum mengenal Carlos. Bisa jadi, pria etnis Batak itu sebelum insiden terjadi dengan pihak keamanan BI, tidak mengetahui adanya tata-tertib ‘meyetor’ identitas KTP ke pihak penerima tamu BI di pintu gerbang.

Justru di sinilah muncul pertanyaan itu.

http://www.kabarpemilu.com/~warehouse/img/preview/20090513mDSC_7080siar.jpg

Kartu Pers digantung di gerbang Bank Indonesia

Apakah selama ini ada kewajiban ‘menyetor’ KTP di gerbang masuk BI? Atau ini sebenarnya hanya alasan halus dari pihak keamanan gedung, untuk mengusir kalangan jurnalis yang ingin meliput Gubernur Bank Indonesia Budiono? Jika memang demikian, apa motivasi mengusir jurnalis, ketika ‘good news’ sedang di depan mata?

Kali ini, saya imencoba menggunakan kacamata Budiono. Jika saya adalah Budiono yang dirumorkan akan menjadi kandidat cawapres Susilo Bambang Yudhoyono, maka saya tidak akan melarang jurnalis yang ingin menemui saya. Bahkan, saya akan perintahkan pihak humas, agar menjadwalkan pertemuan khusus dengan kalangan media cetak maupun elektronik, karena tentunya, mereka punya segmen khusus yang membutuhkan wawancara eksklusif.

Sulitkah itu dilakukan? Tentu tidak!

https://i0.wp.com/www.tribunkaltim.co.id/photo/2009/03/6ef584d2ef2a17481aae5a64fb335422.jpg

Boediono

Itu tergantung isi kepala dan hati Sang Gubernur BI. Mungkin saja, saat itu ia sedang geram dengan tayangan-tayangan di SCTV, yang menyudutkan posisi atau kinerja BI. Atau bisa jadi, Budiono sedang risih didatangi kalangan jurnalis, karena kesibukannya sebagai jurukunci bank sentral. Apalagi, dalam beberapa bulan terakhir, Budiono tampak sibuk bolak-balik ke Istana Kepresidenan, untuk berkonsultasi menetralisir gejolak pasar keuangan, menyusul krisis global yang dibawa oleh dampak krisis Amerika Serikat.

Saya yakin, Budiono tak mengenal Carlos Pardede. Saya juga percaya, tak ada masalah pribadi antara Budiono dan Carlos Pardede, sebelum insiden terjadi. Seorang jurnalis andal sekaliber Carlos Pardede, tentunya tidak akan dendam, apalagi menghubungkan kasus dirinya dengan pribadi Budiono. Hubungan Carlos dengan Budiono, hanya sebatas jurnalis dan nara sumber, dan bukan korban dan tersangka pidana.

Tapi yang pasti, kasus kekerasan terhadap jurnalis, menambah coreng kebebasan pers. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2008 tercatat 60 kasus kekerasan. Tindakan kekerasan tersebut meliputi serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus) dan  penyanderaan (1 kasus).

Dari kasus kekerasan yang tercatat, menunjukkan indeks kebebasan pers di negara ini setelah 10 tahun reformasi justru menurun. Dari data Reporters Sans Frontiers (organisasi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers di dunia), Indonesia yang menempati posisi 100 turun menjadi 111 tahun 2008. Padahal, indeks kebebasan pers tersebut dipercaya oleh publik internasional sebagai tolok ukur demokrasi di suatu negara.

Sudah saatnya ada di setiap benak kalangan pejabat dan kelompok masyarakat, agar tidak menghalang-halangi jurnalis yang sedang melakukan tugas peliputan, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk memblokade pemberitaan. Saya sepakat, kekerasan terhadap pers bukan hanya tindak kriminal yang diancam pidana, namun juga melanggar hak masyarakat untuk mendapat informasi.

https://i0.wp.com/www.antarajatim.com/UserFiles/imageberita/bi.jpeg

Aksi solidaritas Carlos Pardede di daerah

Lantas, pahamkah seorang Budiono tentang kebebasan pers? Saya berupaya berpikir positif, bahwa Budiono paham betul tentang kerja jurnalis. Mudah-mudahan, insiden yang terjadi di halaman kantornya, menjadikan sang bakal calon wakil presiden itu, menjadi lebih dewasa. Dengan demikian, Budiono akan mengerti, jika ia sedang tidak ingin diwawancarai, maka akan memerintahkan petugas satpamnya, supaya mengedepankan sikap bersahabat dengan para jurnalis.

Atau minimal, pejabat di BI memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Dan paling minimal, wajib menyediakan sarapan pagi kepada para satpamnya, agar tak bertampang galak menghadapi para tamu.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Sepenggal Kisah Mei’98 di Facebook

Filed under: Budaya,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43

Diposting di Kompasiana.com 13 Mei 2009

Seorang sahabat saya Imelda Soewahjo bercerita singkat tentang trauma yang pernah dialaminya, 11 tahun yang lalu. Tepat 13 Mei 1998, perempuan cantik keturunan Tionghoa itu, sedang gundah. Siang terik ketika bara api mulai menyala, ia mulai was-was.

http://libryy.files.wordpress.com/2009/03/kerusuhan-mei-1998.jpg

Mei'98

Tapi Imel–sapaan akrabnya–harus menuju RS Husada, karena Sang Oma meninggal dunia. Meski meninggal bukan akibat menjadi korban kerusuhan, tapi tindakannya menuju rumah sakit, yang ditempuh dengan resiko tinggi, harus diacungi jempol.

”Saya dan teman saya dari Grogol naik bajaj. Benar-benar menakutkan. Orang-orang teriak menyebut saya ini Cina. Tapi, saya acuhkan saja,” begitu kata Imel di facebook saya. Kala itu, mahasiswa Universitas Trisakti baru saja memakamkan sejumlah rekan mereka, yang tewas saat unjuk rasa mengatas-namakan reformasi.

Dalam konteks ini, saya salut atas tindakan Imel.

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/6c/Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.svg/220px-Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.svg.png

PANCASILA

Saya pikir, Imel adalah salah satu perempuan Indonesia, yang berani mempertaruhkan nyawanya, demi eksistensi keutuhan NKRI. Untuk melakukan ini, Imel tidak perlu sepucuk senjata api ataupun hak kekebalan hukum warga eksklusif. Yang diperlukan Imel hanya ’secuil keberanian’ menjadi penumpang bajaj, untuk menembus kerumunan massa yang beringas.

Keberanian Imel menempuh resiko melintasi dunia tak bertuan saat itu, bisa dibilang mirip dengan perjuangan seorang Daud saat menaklukan raksasa Goliat. Tubuh Imel yang lemah, harus berhadapan dengan murka ratusan dan bahkan ribuan manusia yang pikirannya sedang rusak. Sebagian dari mereka sedang membelokan arah perjuangan reformasi, ke berbagai aksi manusia bar-bar.

Apalagi, profesi Imel kala itu bukanlah tentara, polisi atau aparat penegak hukum, yang tindakannya mengatas-namakan negara. Justru sikap ’keluguannya’ sebagai warga negara, membuat statusnya menjadi terhormat.

Lantas, apa yang menyelamatkan sahabat baru saya di facebook itu? Iman. Bagi saya, sebuah kekuatan yang melamui akal pikiran manusia, telah tumbuh dalam dirinya. Ia tidak takut menghadapi apapun, bahkan tidak lari meninggalkan NKRI. Itulah nasionalisme sejati yang tak muluk-muluk.

http://maulanusantara.files.wordpress.com/2008/04/korset22.jpg

ilustrasi

Meski saat itu ancaman perkosaan perempuan Tionghoa ada di depan mata, pikirannya tetap lurus. Ia hanya bersikap positive thingking, yakni bagaimana bias sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

”Saya pun ikut merasakan penderitaan mereka. Takkan pernah terlupakan sampai akhir hayat! Kasihan perempuan yang diperkosa, apalagi tidak bisa aborsi,” begitu tuturnya mengakhiri kenangan Mei Kelabu.

Kini, 11 tahun telah berlalu. Dan kisah ini, masih menyimpan misteri. Saya dan Imel hanya bisa berdoa dan berharap, supaya kasus ini bisa diproses secara hukum. Pikiran kami simple saja, pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan aparatnya, untuk menangkap pelaku dan mengadilinya sesuai hukum yang berlaku.

Dan bagi saya, sikap nasionalisme, bukan hanya melulu sebatas memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Atau memenangkan emas Olimpiade dan bertempur sebagai pasukan perdamaian PBB. Seorang nasionalis, tentunya akan bijak menentukan sikapnya di saat yang tepat. Bahkan perempuan seperti Imel, secara tak sadar telah berhasil meletakan nasionalisme dan menghormati leluhur, di sebuah momentum yang tak terlupakan seumur hidupnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

21 Juli 2009

Suhu Panas Menjelang KTT WOC

Filed under: Ekonomi,Lingkungan,Mancanegara,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di Kompasiana.com 10 Mei 2009

WOC di Manado

BEBERAPA hari terakhir ini, ada yang aneh sama ruang kamar saya. Tak biasanya, saya merasa kepanasan, meski sebenaranya kota Manado tempat saya lahir dan dibesarkan, memang dikenal kota pesisir pantai yang menggerahkan.

Tapi kini, suhu udara di kota Manado dan sekitarnya, beberapa hari ini terasa cukup panas. Kondisi ini bukan dipengaruhi oleh meningkatkan suhu politik menjelang Pemilu Presiden 8 Juli 2009, tapi ternyata, lantaran Manado menjadi tempat tuan rumah, saat Indonesia menyelenggarakan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit, di Manado, 11-15 Mei 2009.

Lantas, apa kaitannya WOC dan CTI Summit dengan kamar saya yang makin panas?

Nah ini dia. Saya berupaya mencari tahu lebih dalam. Sejak Jumat pekan lalu (8/5), 10 penerbangan ekstra dari Jakarta dan Singapura telah mendarat di Bandara Sam Ratulangi Manado, untuk membawa delegasi negara sahabat dan tamu undangan. Wah, pantas saja penduduk Manado yang tek lebih dari 500 ribu jiwa, makin disesaki ribuan orang ‘pendatang dadakan’. Dan, inilah jawaban persoalan itu. Manusia secara tak sadar berebut oksigen!

Manado Dahulu dan Kini

Pemandangan bawah laut Bunaken, Sulawesi Utara, benar- benar menarik. Berada di kedalaman laut, berbaur dengan terumbu karang dan ikan warna-warni, menimbulkan sensasi yang sulit dibayangkan.

Semasa kecil saya di sini, nyaris tak ada rumah yang menggunakan pendingin ruangan AC.  Dulu itu, kota Manado dikenal sejuk oleh udara segar dan angin laut, yang memicu mata terkantuk-kantuk. Angin segar yang membuat halusinasi setiap orang untuk berperilaku hidup santai itu, seakan-akan melambatkan roda perekonomian daerah. Apalagi di era 70 hingga 80-an, indeks kemiskinan di Sulawesi Utara, sangat kecil dibandingkan daerah lainnya.

Manado bukanlah kota kaya, dan salah besar jikadisebut kota miskin. Tapi yang jelas, Manado memiliki kelebihan dibandingkan kota-kota lain di timur Indonesia, sebagai kota tujuan berlibur setelah Bali dan Danau Toba.

Mungkin karena letaknya di pesisir pantai, banyak wisatawan mancanegara dan lokal yang berlibur di tempat ini. Meski tak ada olah raga selancar, tapi Manado dan pasisir pantai lain di Sulawesi Utara lainnya, mempunyai keunggulan, yakni panorama yang indah. Apalagi, ‘jualan marketing’ terbaiknya taman laut Bunaken, menjadikannya sebagai image bagi negara asing, bahwa Indonesia terkenal dengan Bunaken-nya.

Bunaken adalah sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang dapat di tempuh dengan Speed boat atau kapal sewaan dengan perjalanan sekitar 30 menit dari pelabuhan kota Manado. Di sekitar pulau Bunaken terdapat taman laut Bunaken yang memiliki biodiversitas kelautan tertinggi di dunia.

Apalagi, selam scuba menarik banyak pengunjung ke pulau ini. Meskipun meliputi area 75.265 hektar, lokasi penyelaman (diving) hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu.

Dan memang, dunia itu berputar. Masa emas ini tak berlangsung lama. Bunaken mulai di nomor-duakan, nomor tigakan dan mungkin di nomor 100-kan dalam tujuan wisata. Apalagi sejak era otonomi daerah, belum ada gebrakan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk mewujudkan Bunaken sebagai tujuan wisata dunia.

Dan kini sudah saatnya, masyarakat dan pemerintah tidak terlena terhadap kerusakan terumbu karang di Bunaken. Sejak 10 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang makin diperparah oleh banyaknya sampah kota yang menumpuk di pantai Manado.

Bunaken dalam WOC

Aktivitas penerbangan di Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado.

Konferensi Kelautan Dunia WOC dan CTI Summit, mulai Senin 11 Mei, digelar. Sudah bisa ditebak, isu seputar kerusakan lingkungan akibat alam dan ulah manusia, akan dibahas. Apalagi, puluhan profesor dan pakar kelautan, sudah menyiapkan lembar makalah tebal, yang disampaikan di hadapan kepala-kepala negara sahabat, termasuk ratusan jurnalis nasional dan asing.

Aplagi sekitar 4.500 personel gabungan TNI dan Polri siap mengamankan pelaksanaan KTT Kelautan Internasional WOC dan CTI Summit, yang berlangsung pada 11-15 Mei 2009 di Manado. Gabungan pengamanan tidak hanya berada di Manado, tetapi juga didatangkan dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

Gabungan TNI-Polri akan diutamakan pada pengamanan pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia itu di Convention Hall Grand Kawanua City Hotel (GKIC), serta sejumlah hotel bintang lima dan empat tempat menginap sejumlah kepala pemerintahan serta ribuan tamu dari 121 negara. Kemudian, lokasi pengamanan lainnya berada di pusat-pusat keramaian, sejumlah sudut kota, hingga Bandara Sam Ratulangi Manado, Pelabuhan Laut, dan berbagai akses umum lainnya.

Pengamanan ini tampaknya dianggap penting, karena ribuan delegasi negara sahabat, tamu undangan dan kalangan jurnalis, akan hadir pada pertemuan, yang salah satu agendanya adalah mencari solusi penyelamatan lingkungan kelautan.

Apalagi, penyelenggaraan WOC dan CTI di Manado, telah menghabiskan dana sekitar Rp 380 miliar, untuk pembangunan infrastruktur, sedang biaya penyelenggaraan hanya sekitar Rp 41 miliar.

Tapi yang terpenting adalah, tindakan aparat keamanan mampu mengatasi ancaman, yang dapat mengganggu kedamaian, khususnya bagi Sulawesi Utara. Selain itu, TNI dan Polri yang intens melakukan pengamaman di beberapa lokasi kegiatan WOC dan CTI Summit, juga tidak mengganggu aktivitas warga di Manado yang tidak terkait dengan kegiatan tersebut.

Sedangkan dana yang cukup besar Rp 380 Milyar tersebut, diharapkan digunakan untuk kepentingan WOC, dan tidak boleh dikorupsi. Minimal harus ada target, bahwa dana tersebut dapat memancing investor asing, untuk menanamkan modal di Indonesia, termasuk mempermudah akses semua pihak untuk menyelamatkan lingkungan.

Semoga, KTT Kelautan Internasional WOC dan CTI Summit mampu mendukung roda perekonomian nasional maupun daerah. Event ini maupun yang lainnya, sudah selayaknya menjadi sumber pemasukan sektor Meeting, Incentive, Congress dan Exhibition (MICE), termasuk mendukung sektor riil bagi warga Bunaken.

Dan akhirnya, saya kembali ke dalam kamar sauna di kala siang terik. Yang saya khawatirkan adalah, limit tabungan saya berkurang karena membeli pendingin udara, atau tetap bertahan dengan keringat di dahi hingga WOC berakhir.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Antasari dan Sniper

Filed under: Ekonomi,Korupsi,Kriminal — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di Kompasiana 6 Mei 2009

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4d/10_meter_air_pistol_target.svg/600px-10_meter_air_pistol_target.svg.pngTAK biasanya orang tua saya menonton televisi dengan serius. Sejak KPU menayangkan quick qount dan real qount, mereka tampak asyik mematung enggan berpindah tempat duduk. Bahkan sempat terlambat santap malam, gara-gara perolehan suara partai politik naik-turun. Setelah muncul kasus DPT amburadul, barulah puasa menonton berita, dan beralih ke sinetron monoton.

Ternyata ’puasa’ mereka hanya sementara. Sejak akhir pekan lalu, tak biasanya absen ”Cinta Fitri”. Ini lantaran drama menegangkan yang dimulai dari kejaran koresponden media massa di sebuah rumah perumahan elit di kawasan Modern Land Tangerang. Di sinilah episode pertama itu ditayangkan.

Tapi bagi saya, ’sinetron’ itu tak jauh beda dengan sinetron televisi yang menjadi pujangga kaum ibu rumah tangga. Pemberitaan Sang Panglima KPK Antasari Azhar di televisi, sebenarnya mirip dengan tayangan sinetron yang saya benci. Biasanya, saya harus berebutan remote control dengan penghuni rumah, ketika saya ingin mengetahui informasi setiap pagi atau sore menjelang malam. Dan kali ini, aksi rebut-rebutan remote control tidak terjadi.

Saya tidak ingin terlibat dalam alur pikiran mereka, yang secara tak sadar, ingin menyamakan penangkapan Antasari dengan puncak cerita menjelang episode sinetron berakhir. Di dalam kepala saya mengatakan, siapa yang ditangkap dan siapa yang ribut dalam kasus ini. Itu saja. Saya tak peduli apa penyebab tergelincirnya Antasari dan romantisme aparat penegak hukum.

http://primordialgrafis.files.wordpress.com/2009/05/antasari-tempo_3.jpgBagi saya, Antasari kali ini adalah pemeran utama ’sinetron’, atau mungkin film aksi laga. Perannya di drama itu sebagai sniper, atau orang awam menyebutnya penembak jitu yang ditakuti. Di kalangan militer, seorang sniper tugasnya menembak setiap target secara sembunyi-sembunyi. Tentunya, seorang sniper mendapat sebuah tugas yang diperintahkan oleh atasannya. Dalam kode etik sniper, tidak boleh menjadi pembunuh bayaran, yang memintanya menembak target dengan imbalan uang.

Apalagi, kehidupan pribadi komunitas sniper, biasanya terpisah dari masyarakat umum, termasuk kalangan militer. Mereka biasanya menyendiri, dan menganggap senjatanya sebagai istri, yang dapat dipeluk tidur setiap malam jika tak bertugas. Jika senjatanya rusak, seorang sniper pasti kebakaran jenggot, karena harus menunggu senjata serupa yang dipesan.

Sniper itu jarang bergaul, dan kalau pun berkomunikasi, tak banyak kata-kata yang terucap. Dia juga miskin humor, tahan puasa saat bergugas, dan insomnia. Pikirannya cuma satu, harus mampu menembak target dengan tepat, meski harus sabar menunggu hingga targetnya benar-benar tepat sasaran.

Tapi, sniper juga manusia. Meski taat beribadah, godaan juga selalu datang. Masalah utamanya yang sulit dihadapinya, tatkala cinta itu muncul. Cinta kepada seorang gadis pujaan, menyebabkan sniper ingin pensiun. Sayangnya, cinta pula yang menyebabkan sniper menolak perintah.

Lantas, samakah peran Antasari dengan sniper? Itu relatif, tergantung sudut pandangnya. Bagi saya, kesamaannya ada pada cara kerjanya. Seorang Antasari mampu berperan sebagai sniper, ketika ia mendapat targetnya, sang koruptor. Antasari mampu mengendap-endap mendekati ’sasaran tembak’, tanpa diketahui barisan pertahanan musuh. Selama pengamatan saya, nyaris tak terdengar target Antasari meleset.

Tapi alur cerita berubah. Kali ini Antasari menjadi target sniper. Entah karena keteledorannya tak sengaja memasuki wilayah musuh, yang jelas seorang atau bahkan beberapa sniper sedang menguncinya dalam sebuah bidikan. Langkahnya terhenti. Dan peluru berupa ’kurungan jeruji penjara’ sedang meluncur ke arahnya.

Mampukah ia lolos?

Maaf, sinetron ini ternyata bersambung ke episode berikutnya. Hati saya sempat gusar, karena beberapa kali dipaksa menahan napas, melihat manuver Antasari di tengah kepungan sesama aparat penegak hukum. Setidaknya, ini jadi tayangan sinetron baik, daripada sinetron yang menjual mimpi.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Antara Koalisi, Flu Babi dan Saya

Diposting di Kompasiana 30 April 2009

TERKEJUT. Itulah kata pertama yang muncul, ketika saya membaca berita di sebuah situs berita internet, yang menyebutkan PDI Perjuangan mengungguli Partai Demokrat dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009. Ini memang hasil sementara. Tapi ibarat kemarau panjang, informasi ini ibarat segelas es teh manis di padang gurun.

Sebelum berita ini dilansir, sebagian besar media massa tampak asyik menampilkan manuver politisi menjelang Pemilu Presiden. Keasyikan media beberapa pekan ini, nyaris mengesampingkan titik jenuh masyarakat. Bukan lantaran tak menyukai perkembangan politik Tanah Air, tapi publik sudah bosan dengan warna parade monoton yang sepi penonton.

Lantas, apa hubungannya dengan flu babi?

http://puskesmaspajangan.files.wordpress.com/2009/05/flu-babi.jpg

ilustrasi virus

Virus mematikan asal negeri Mr.Sarmento ini, mampu mengalih isu. Bahkan, pejabat Departemen Kesehatan langsung kebakaran jenggot. Hadirnya kasus ini setidaknya telah menghidupkan mesin penangkal yang sudah dimasukkan ke dalam gudang. Padahal, kasus flu burung belum benar-benar berakhir.

Rapat pun digelar. Strategi dan perencanaan yang dianggap matang, disusun. Dan seperti biasa, sejumlah anggaran dana diajukan ke Sang Kasir, Bu Sri Mulyani. Uniknya, langsung cair!

Pentingkah antisipasi itu? Ya, penting tentunya. Tapi ini bukan soal keberpihakan masyarakat, karena itu adalah tugas pemerintah. Ini adalah soal kewajiban pemerintah, dalam melindungi setiap warganya.

Sayangnya, sampai saat ini penanganan flu babi lebih mirip dengan penanganan kasus virus menular lainnya. Setelah pneunomia, mulut-kuku, SARS dan flu burung, antisipasi flu babi berjalan di tempat. Yang terlihat di publik, para pakar kesehatan dan pejabat Depkes, menyanyikan lagu paduan suara. Lagu yang enak didengar, meski hanya sesaat dan untuk dikenang.

Bagi saya, perkembangan kasus flu babi mirip dengan atraksi politisi saat ini. Meminjam istilah kawan saya Iskandar Sitorus dari LBH Kesehatan, istilah ”babi” itu kependekan dari ”banyak bicara”. Kali ini, Iskandar yang bicaranya berapi-api itu, ada benarnya. Politisi, pejabat publik dan para pakar, berlomba-lomba bicara, terutama di depan wartawan.

Mudah-mudahan mereka belum lupa, kalau penanganan di lapangan lebih penting dilakukan, tanpa harus dipublikasikan. Dan jika mereka khilaf, maka itu artinya saya, akan kembali terkejut di depan layar komputer, ada apa gerangan berita yang bikin heboh lagi.

(Nancy Samola, antivis Komunitas Lentera)

Sepucuk Surat dari Anak Mantan Caleg

Filed under: Ekonomi,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,
http://hermansy.files.wordpress.com/2009/04/logo-pemilu.jpg

Logo Pemilu 2009

Kak..

Aku sedih bangat kak..
Aku gak tau apa yang aku lakukan untuk keluargaku.

Papa aku kalah kak dalam pemilunya. Banyak bangat yang curang kak.
Papa kalah dan banyak uang yang habis kak.
Papa tegar bangat tapi mama selalu nangis kak.
Apalagi papa gak mau cari kerja lagi, taunya di rumah aja,

semuanya gak tau mau ngapain untuk ngasih uang ke mama.
Mama selalu nangis di depan aku kak.

Aku mau bantu mereka kak.
Aku mau cari uang, tapi aku gak tau cari uang ke mana.
Aku mau kerja.

Aku mau kerja dengan biolaku, kak…

aku mau ngamen di lampu merah, tapi aku takut kak bikin malu keluarga.

Kak, aku pusing kali kalo aku ke rumah.

Kenapa Tuhan beri cobaan kayak gini.

Kak.. aku sedih bangat.
Apa yg aku lakuin kak..

:(

(BSPN)

Note:

Surat ini dikirimkan seorang sahabat saya di Facebook berinisial BSPN (17 tahun), hari ini (7/5) jam 08.45 WIB melalui massage. Sengaja saya berbagi kepada rekan-rekan Kompasiana, bahwa ini adalah salah satu gambaran yang terekam di sebagian keluarga caleg, yang gagal pada Pemilu Legislatif lalu. Semoga bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita semua.

360 Berita Gizi Buruk Selama Satu Tahun Terakhir

Filed under: Kemiskinan,Kesehatan,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: ,

Diposting di Kompasiana 8 Mei 2009

ilustrasi

MASIH ingat Monica Monteiro, anak penderita gizi buruk di Desa Oebelo Kupang Nusa Tenggara Timur, yang akhirnya meninggal dunia awal tahun 2009? Mudah-mudahan Anda belum lupa 10 bayi di Kabupaten Kediri Jawa Timur, yang meninggal dunia akibat mengalami gizi buruk selama tahun 2008.

Nah, di tengah hiruk-pikuk penangan pandemi flu babi dan tontonan koalisi yang monoton, ternyata sebuah berita kecil menyelip dan nyaris tak terpantau media massa. Candra Ageng Hermawan, seorang balita umur 33 bulan warga Dusun Jatirowo Jombang, Jawa Timur, masih tergolek lemah di salah satu bangsal perawatan RSD Jombang. Candra yang dirawat di rumah sakit itu sejak Senin (4/5) sore berdasarkan diagnosis tim dokter dipastikan mengalami marasmik kwarshiorkor atau gizi buruk.

foto: Kompas

Lantas, apa menariknya berita tersebut?

Sepintas, itu memang berita biasa. Sama seperti berita lainnya yang biasa terdapat di radio, televisi, koran dan situs berita internet. Tapi, tak sengaja saya iseng menggunakan tools search kompas.com dengan menggunakan kata kunci “gizi buruk”. Dan, alamak!

Hasilnya ada 360 judul berita gizi buruk, setidaknya sepanjang satu tahun terakhir. Silakan kembali meng-klik, di situlah judul-judul di kompas.com tersimpan berita gizi buruk. Heran?

Semoga, kasus terakhir gizi buruk di Jombang Jawa Timur, dan ratusan kasus gizi buruk di berbagai daerah lainnya, bisa menjadi inspirasi bagi kita semua, untuk meningkatkan kepedulian sosial, khususnya bagi kepentingan anak-anak Indonesia, demi masa depan yang lebih baik.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Laman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.