Diposting di Kompasiana pada 12 Juni 2009
SEPERTI biasa, setiap akhir pekan, saya melakukan searching berita populer di kompas.com. Kali ini, ada hal yang menarik mata saya saat meng-klik berita di tools halaman nasional. Beberapa berita populer yang masuk jajaran teratas, ternyata diwarnai oleh atraksi monolog Butet Kertaradjasa, seniman favorit saya. Kok bisa menarik perhatian pembaca?
Nah, ini dia persoalan, dan sekaligus bukan persoalan menarik itu.
Ketenaran Mas Butet di dunia politik saat ini, dipicu oleh deklarasi Pemilu Damai Presiden dan Wakil Presiden 2009, yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rabu malam (10/6) di Hotel Bumikarsa Bidakara Jakarta. Persoalan muncul, ketika setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden diberi kesempatan untuk mempersembahkan salah satu kesenian.
Selain menghadirkan kesenian Kentongan yang berasal dari daerah Purbalingga, Jawa Tengah dan lagu “Gebyar-Gebyar” yang diciptakan oleh adik Mega, Guruh Soekarnoputra, Pasangan capres dan cawapres Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto menghadirkan monolog yang diperagakan Butet.
Kesenian yang memukau ini mendapat penghormatan dari para hadirin yang datang dengan senyum dan tepuk tangan. Nah anehnya, pasangan SBY dan Boediono tampak tidak tersenyum sedikit pun. Tersinggungkah Pak Beye?
Saya sangat sepakat dengan tampilan monolog Mas Butet, yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia lima tahun terakhir yang cukup menyedihkan. Apalagi menurutnya, perlu gebrakan dari pemimpin yang berpihak kepada rakyat dan membawa kemajuan bangsa.
Sepanjang Butet ber-monolog ditayangkan, nyaris tak ada senyum yang diberikan oleh Pak beye. Saya lihat, begitu pula dengan Boediono. Memang perlu diakui, inti monolog Mas Butet kerap “menyindir” produk-produk pemerintahan yang dipimpin oleh Pak Beye. Mulai dari banyaknya utang, direbutnya hak paten batik dan kesenian reog, Blok Ambalat, para tenaga kerja wanita (TKW) yang kerap disiksa, pesawat militer yang berturut-turut jatuh, hingga upaya pemberantasan korupsi yang tak maksimal.
“Ada anekdot, jangankan untuk bertempur, pesawatnya sudah jatuh duluan. Upaya pemberantasan korupsi masih tebang pilih,” tutur Butet diikuti tepuk tangan hadirin, tetapi tidak dengan SBY.
Nah, persoalan tak menarik tapi populer, muncul. Akibat aksi seni tersebut, tim kampanye nasional pasangan capres-cawapres SBY-Boediono menganggap acara deklarasi pemilu damai yang diselenggarakan KPU, Rabu malam kemarin, telah dinodai oleh pasangan Megawati-Prabowo dengan orasi yang menyerang pasangan capres lainnya.
Anggota tim kampanye nasional SBY-Boediono, Andi Malarangeng kini balas sindiran Mas Butet yang menyerang capres lain itu, mungkin bukti ketidakmampuan pasangan Megawati-Prabowo untuk mengkritik atau menyerang pasangan lain.
Oke, stop! Saya tak ingin melanjutkan pro-kontra monolog Mas Butet.
Yang jelas, KPU sedang mengevaluasi sejumlah atraksi seni yang disuguhkan pasangan capres-cawapres dalam deklarasi pemilu damai itu, untuk memastikan pilpres bebas dari perselisihan. Meski ini adalah tugas Bawaslu dan agak di luar kewenangan KPU, tapi komitmen pemilu damai perlu mendapat apresiasi.
Saya berpendapat, bukan itu persoalan yang signifikan.
Bagi saya, monolog Mas Butet tidak perlu ditanggapi reaktif dan emosional. Apalagi, pesan yang diungkapkan Mas Butet, yang bukan pria berdarah Batak itu, merupakan aspresiasi seni semata.
Mungkin hanya kemasannya yang keliru. Jika monolog Mas Butet ditempatkan di opening atau clossing deklarasi di luar penampilan seni capres-cawapres, bisa jadi tak ada yang protes. Lha wong mana berani memprotes KPU–Sang Wasit Pertandingan Pemilu–apalagi menjadi tuan rumah acara?
Dan terakhir, jika Mas Butet ditangkap polisi gara-gara atraksi monolog-nya, saya siap pasang badan. Apabila Mas Butet dipenjara, maka berarti kebebasan perpendapat di negeri ini, sudah tak terjamin lagi.
Tak ada sikap terhormat melebihi Mas Butet, saat tampil berani bicara lantang di depan penguasa. Apalagi sudah lama sekali bahkan saya sudah lupa kapan ada orang yang berani bicara demikian di hadapan seorang Presiden. Rasanya, saya pernah bermimpi menjadi Mas Butet saat ber-monolog. Setidaknya, mimpi itu sudah menjadi kenyataan, meski peran saya diambil.
(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)