[SUARA HATI] nancy samola

20 Agustus 2009

H1N1+H5N1=Siaga 1?

Filed under: Kesehatan,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 16 Juli 2009

OALA… Hari ini saya kena flu. Mungkin, ini lantaran beberapa hari ini saya begadang untuk menyelesaikan tugas di kampus, dan tak diimbangi dengan istirahat yang cukup. Pagi tadi, saya sudah mengkonsumsi obat infuenza, yang selama ini dipakai turun-temurun oleh keluarga. Dan tentu, mungkin karena sugesti, saya berharap segera pulih, supaya tak mengganggu aktivitas saya.

Tapi, sugesti yang saya harapkan kali ini, tampaknya kurang berpihak. Mungkinkah karena saya membaca berita di situs kompas.com berjudul “A-H1N1, Jumlah Korban Positif 142 orang” ? Informasi ini tentunya mengejutkan, karena rasanya, saya menganggap pasien H1N1–yang pernah disebut-sebut flu babi–hanya beberapa saja. Karena berita inikah, flu saya jadi sulit sembuh?

Bu Menkes Siti Fadilah Supari tampaknya makin teliti dalam tugasnya sebagai abdi negara. Beliau tampaknya sudah sangat paham kondisi di lapangan, setelah belajar dari kasus flu burung. Cuma masalahnya, pernyataan Bu Menteri tadi malam (15/7) itu, kok bikin dengkul saya jadi lemas. Ia bilang, “Meskipun angka kematian influenza A-H1N1 di dunia sangat rendah yakni 0,4%, namun penularannya sangat cepat.”

Bolehlah bersikap kritis, tapi mbok ya, jangan nakutin gitu lho Bu…

Untungnya, ada imbauan Bu Menteri kepada masyarakat, yakni agar tetap waspada dan senantiasa membiasakan pola hidup bersih dan sehat diantaranya mencuci tangan dengan sabun, dan melaksanakan etika batuk dan bersin yang benar. Apabila flu dalam 2 hari tidak membaik segera ke dokter. Kemudian, jika ada gejala Influenza, maka gunakan masker dan tidak ke kantor, ke sekolah atau ke tempat-tempat keramaian dan istirahat di rumah selama 5 hari. Wah, yang terakhir saya tak setuju, karena 5 hari tak ngantor, bisa dianggap mengundurkan diri.

Masalahnya, di kota Manado tempat saya menetap ini, kabarnya sudah ada 2 pasien suspect H1N1 yang dirawat di ruang isolasi rumah sakit. Akibat berpikir pernyataan Bu Menteri itu, kini badan saya jadi lemas, dan ingin rasanya berbaring di kasur empuk.

Bagi saya, Bu Menteri jangan terlalu banyak omdo (omong doang). Publik sudah makin pintar untuk membedakan, mana pejabat pemerintah yang benar-benar bekerja, dan mana yang sekedar tebar pesona. Tentunya, adalah lebih bijak, jika Departemen Kesehatan mengamankan distribusi tamiflu, obat lisensi Badan Kesehatan Dunia WHO, karena kabarnya disediakan sebanyak 3 juta tablet tamiflu.

Malah, pemerintah seyogyanya tetap memantau penularan virus avian influenza H5N1 (flu burung), serta memetakan sebarannya untuk mencegah terjadinya percampuran dengan virus influenza A (H1N1) yang dikhawatirkan dapat memunculkan jenis virus influenza baru yang lebih ganas dan mematikan. Sudahkah jajaran Departemen Kesehatan sadar akan hal ini?

Seberapa Bahaya H5N1+H1N1 ?

Selama ini kalangan ilmuan mengatakan, kematian yang terjadi pada pasien positif influenza A-H1N1 pada umumnya disebabkan karena penyakit lain yang menyertainya seperti orang dalam kondisi lemah. Kepala Laboratorium Penelitian Flu Burung Universitas Airlangga Chairil Anwar Nidom mengatakan, virus influenza A (H1N1) masih labil dan kemungkinan masih ada virus AI H5N1. Kalau ada mediator, keduanya bisa bercampur dan memunculkan jenis virus baru yang mungkin lebih ganas. Nah, saya lebih senang ‘ditakuti’ oleh narasumber yang berkompeten, daripada sama Bu Menteri.

Saya sepakat dengan Pak Nidom, pemerintah harus memetakan lagi sebaran virus AI H5N1 pada unggas dan manusia serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya percampuran. Percampuran antara sub-sub tipe virus influenza A (H1N1) dan H5N1 dapat memunculkan banyak varian virus influenza A, yang salah satunya mungkin lebih mematikan dan berpotensi menimbulkan pandemi. “Kalau sudah begitu, bukan hanya Indonesia saja yang terancam, seluruh dunia juga akan ikut terancam,” kata Nidom.

Hore.. Akhirnya saya benar-benar takut..!!

Nah, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan koordinasi dengan instansi terkait, untuk mencegah penyebaran influenza A H1N1 yang lebih luas di Indonesia. Upaya itu misalnya: penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan, penyiapan RS rujukan, penyiapan logistik, penguatan pelacakan kontak; penguatan surveilans ILI, penguatan laboratorium, komunikasi, edukasi dan informasi. Upaya lainnya berupa community surveilans yaitu masyarakat yang merasa sakit flu agak berat, seharusnya mendapat pelanyanan di Puskesmas, sedangkan yang berat bisa ke rumah sakit.

(Nancy Samola, Aktivis Komunitas Lentera)

19 Agustus 2009

Anak Jalanan: Tanggung Jawab Siapa?

Filed under: Budaya,Kemiskinan,Pengangguran,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di kompasiana.com 12 Juli 2009

SABTU MALAM (11/7), saya berkeliling di pusat kota Manado. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rekreasi santai ini malah bikin saya sumpek dan mulai stress. Betapa tidak? Ruas-ruas jalan di Kota Manado akhir-akhir ini, sering macet total, khususnya di sekitar perempatan jalan dan pusat-pusat perbelanjaan.

http://unhyonxeng.files.wordpress.com/2009/03/anak_jalanan_11.jpg

anak jalanan

Tapi yang menarik perhatian saya kali ini, yakni mulai banyaknya anak-anak jalanan di pintu masuk pusat perbelanjaan dan di sekita pusat perbelanjaan, untuk mengemis dengan cara berharap rasa iba dari setiap pengunjung yang melintas. Sudah parahkah inikah tingkat kemiskinan di kota Manado?

Meski mereka masuk dalam data dinas kesejahteraan sosial, tapi nyatanya perhatian dalam bentuk kebijakan, alokasi anggaran dan pembinaan masih sangat kurang. Salah satu indikasinya, hampir semua dinas atau instansi baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota mengaku belum memiliki data akurat tentang mereka. Di Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Utara misalnya, sampai saat ini belum ada data yang valid tentang anak jalanan, orang gila, gelandangan dan pengemis. Kalau pun ada, itu data dua tahun lalu.

Sesampai di rumah, saya langsung berselancar di dunia maya. Dan kini saya menemukan perkiraan jawaban dari tersebut. Banyaknya anak jalanan di Jakarta, karena pemerintah membiarkan terjadinya arus urbanisasi. “Penyebab banyaknya anak jalanan di Kota Jakarta akibat kurangnya upaya pemerintah mencegah urbanisasi,” ini kata Direktur Eksekutif Yayasan ISCO (Indonesian Street Chlidren Organization) Ramida Siringoringo.

Saya sepakat, masalah urbanisasi yang berlangsung sejak lama di Kota Jakarta dan mungkin termasuk di Manado, terjadi akibat banyak masyarakat pedesaan yang tergiur bekerja di ibukota karena menganggap kota besar sebagai tempat yang baik untuk mengadu nasib. Apalagi banyak masyarakat di pedesaan yang menjual lahan pertanian kemudian mengadu nasib ke ibukota. Tapi sayangnya, setelah sampai di ‘kota impian’ mereka akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, dan akhirnya menjadi bagian dari penduduk miskin.

Kondisi itu diperparah karena pemerintah tidak serius mengurusi anak-anak jalanan dan warga miskin di perkotaan. Untuk itu, pemerintah harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya di pedesaan, sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya urbanisasi, Jika lapangan pekerjaan ada di daerah mereka, tidak mungkin masyarakat dari pedesaan berlomba-lomba mengadu nasib ke kota besar.

BPS

Berdasarkan data Badan Pusat Stistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan pada 2008 yakni mencapai 41, 2 juta jiwa. Selain akibat arus urbanisasi, meningkatnya angka kemiskinan juga disebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok dan tidak stabilnya perekonomian dunia yang berimbas pada meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Inilah yang harus jadi perhatian serius pemerintah!
Pasal 34 UUD 1945 menyebut fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ini memang menjadi tantangan bagi siapa saja, yang mendapat legitimasi rakyat untuk memimpin. Fakir miskin dan anak-anak terlantar harus mendapat bantuan, dan bukan sekadar dijadikan obyek program. Begini bunyinya pasal 34 UUD 1945:

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

buku komprehensif

UUD 1945

Tapi sayangnya, meski kini sudah banyak lembaga sosial baik yang dikelola oleh organisasi keagamaan maupun organisasi sosial yang memberi perhatian terhadap mereka, upaya tersebut masih bergantung pada biaya pemerintah. Untuk itu, sudah saatnya, kita memang tidak bisa harus menyerahkan mereka pada lembaga sosial seperti itu. Bagi saya, pemerintah melalui instansi terkait harus mampu memapar kondisi sebenarnya di lapangan, mengkomunikasikan program kerjanya dan kemudian melaksanakannya.

Dan terahir, Pemerintah tak boleh berbohong! Kalau penanganan anak-anak jalanan sudah dilakukan, maka jangan sampai ada lagi anak jalanan berkeliaran di pusat-pusat ibukota. Mereka harus ‘diamankan’, dalam arti menampung, menyekolahkan, dan mengkaryakannya. Ini demi masa depan yang lebih baik.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

24 Juli 2009

Sepenggal Kisah Mei’98 di Facebook

Filed under: Budaya,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43

Diposting di Kompasiana.com 13 Mei 2009

Seorang sahabat saya Imelda Soewahjo bercerita singkat tentang trauma yang pernah dialaminya, 11 tahun yang lalu. Tepat 13 Mei 1998, perempuan cantik keturunan Tionghoa itu, sedang gundah. Siang terik ketika bara api mulai menyala, ia mulai was-was.

http://libryy.files.wordpress.com/2009/03/kerusuhan-mei-1998.jpg

Mei'98

Tapi Imel–sapaan akrabnya–harus menuju RS Husada, karena Sang Oma meninggal dunia. Meski meninggal bukan akibat menjadi korban kerusuhan, tapi tindakannya menuju rumah sakit, yang ditempuh dengan resiko tinggi, harus diacungi jempol.

”Saya dan teman saya dari Grogol naik bajaj. Benar-benar menakutkan. Orang-orang teriak menyebut saya ini Cina. Tapi, saya acuhkan saja,” begitu kata Imel di facebook saya. Kala itu, mahasiswa Universitas Trisakti baru saja memakamkan sejumlah rekan mereka, yang tewas saat unjuk rasa mengatas-namakan reformasi.

Dalam konteks ini, saya salut atas tindakan Imel.

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/6c/Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.svg/220px-Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.svg.png

PANCASILA

Saya pikir, Imel adalah salah satu perempuan Indonesia, yang berani mempertaruhkan nyawanya, demi eksistensi keutuhan NKRI. Untuk melakukan ini, Imel tidak perlu sepucuk senjata api ataupun hak kekebalan hukum warga eksklusif. Yang diperlukan Imel hanya ’secuil keberanian’ menjadi penumpang bajaj, untuk menembus kerumunan massa yang beringas.

Keberanian Imel menempuh resiko melintasi dunia tak bertuan saat itu, bisa dibilang mirip dengan perjuangan seorang Daud saat menaklukan raksasa Goliat. Tubuh Imel yang lemah, harus berhadapan dengan murka ratusan dan bahkan ribuan manusia yang pikirannya sedang rusak. Sebagian dari mereka sedang membelokan arah perjuangan reformasi, ke berbagai aksi manusia bar-bar.

Apalagi, profesi Imel kala itu bukanlah tentara, polisi atau aparat penegak hukum, yang tindakannya mengatas-namakan negara. Justru sikap ’keluguannya’ sebagai warga negara, membuat statusnya menjadi terhormat.

Lantas, apa yang menyelamatkan sahabat baru saya di facebook itu? Iman. Bagi saya, sebuah kekuatan yang melamui akal pikiran manusia, telah tumbuh dalam dirinya. Ia tidak takut menghadapi apapun, bahkan tidak lari meninggalkan NKRI. Itulah nasionalisme sejati yang tak muluk-muluk.

http://maulanusantara.files.wordpress.com/2008/04/korset22.jpg

ilustrasi

Meski saat itu ancaman perkosaan perempuan Tionghoa ada di depan mata, pikirannya tetap lurus. Ia hanya bersikap positive thingking, yakni bagaimana bias sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

”Saya pun ikut merasakan penderitaan mereka. Takkan pernah terlupakan sampai akhir hayat! Kasihan perempuan yang diperkosa, apalagi tidak bisa aborsi,” begitu tuturnya mengakhiri kenangan Mei Kelabu.

Kini, 11 tahun telah berlalu. Dan kisah ini, masih menyimpan misteri. Saya dan Imel hanya bisa berdoa dan berharap, supaya kasus ini bisa diproses secara hukum. Pikiran kami simple saja, pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan aparatnya, untuk menangkap pelaku dan mengadilinya sesuai hukum yang berlaku.

Dan bagi saya, sikap nasionalisme, bukan hanya melulu sebatas memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Atau memenangkan emas Olimpiade dan bertempur sebagai pasukan perdamaian PBB. Seorang nasionalis, tentunya akan bijak menentukan sikapnya di saat yang tepat. Bahkan perempuan seperti Imel, secara tak sadar telah berhasil meletakan nasionalisme dan menghormati leluhur, di sebuah momentum yang tak terlupakan seumur hidupnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

21 Juli 2009

Sepucuk Surat dari Anak Mantan Caleg

Filed under: Ekonomi,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,
http://hermansy.files.wordpress.com/2009/04/logo-pemilu.jpg

Logo Pemilu 2009

Kak..

Aku sedih bangat kak..
Aku gak tau apa yang aku lakukan untuk keluargaku.

Papa aku kalah kak dalam pemilunya. Banyak bangat yang curang kak.
Papa kalah dan banyak uang yang habis kak.
Papa tegar bangat tapi mama selalu nangis kak.
Apalagi papa gak mau cari kerja lagi, taunya di rumah aja,

semuanya gak tau mau ngapain untuk ngasih uang ke mama.
Mama selalu nangis di depan aku kak.

Aku mau bantu mereka kak.
Aku mau cari uang, tapi aku gak tau cari uang ke mana.
Aku mau kerja.

Aku mau kerja dengan biolaku, kak…

aku mau ngamen di lampu merah, tapi aku takut kak bikin malu keluarga.

Kak, aku pusing kali kalo aku ke rumah.

Kenapa Tuhan beri cobaan kayak gini.

Kak.. aku sedih bangat.
Apa yg aku lakuin kak..

:(

(BSPN)

Note:

Surat ini dikirimkan seorang sahabat saya di Facebook berinisial BSPN (17 tahun), hari ini (7/5) jam 08.45 WIB melalui massage. Sengaja saya berbagi kepada rekan-rekan Kompasiana, bahwa ini adalah salah satu gambaran yang terekam di sebagian keluarga caleg, yang gagal pada Pemilu Legislatif lalu. Semoga bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita semua.

360 Berita Gizi Buruk Selama Satu Tahun Terakhir

Filed under: Kemiskinan,Kesehatan,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: ,

Diposting di Kompasiana 8 Mei 2009

ilustrasi

MASIH ingat Monica Monteiro, anak penderita gizi buruk di Desa Oebelo Kupang Nusa Tenggara Timur, yang akhirnya meninggal dunia awal tahun 2009? Mudah-mudahan Anda belum lupa 10 bayi di Kabupaten Kediri Jawa Timur, yang meninggal dunia akibat mengalami gizi buruk selama tahun 2008.

Nah, di tengah hiruk-pikuk penangan pandemi flu babi dan tontonan koalisi yang monoton, ternyata sebuah berita kecil menyelip dan nyaris tak terpantau media massa. Candra Ageng Hermawan, seorang balita umur 33 bulan warga Dusun Jatirowo Jombang, Jawa Timur, masih tergolek lemah di salah satu bangsal perawatan RSD Jombang. Candra yang dirawat di rumah sakit itu sejak Senin (4/5) sore berdasarkan diagnosis tim dokter dipastikan mengalami marasmik kwarshiorkor atau gizi buruk.

foto: Kompas

Lantas, apa menariknya berita tersebut?

Sepintas, itu memang berita biasa. Sama seperti berita lainnya yang biasa terdapat di radio, televisi, koran dan situs berita internet. Tapi, tak sengaja saya iseng menggunakan tools search kompas.com dengan menggunakan kata kunci “gizi buruk”. Dan, alamak!

Hasilnya ada 360 judul berita gizi buruk, setidaknya sepanjang satu tahun terakhir. Silakan kembali meng-klik, di situlah judul-judul di kompas.com tersimpan berita gizi buruk. Heran?

Semoga, kasus terakhir gizi buruk di Jombang Jawa Timur, dan ratusan kasus gizi buruk di berbagai daerah lainnya, bisa menjadi inspirasi bagi kita semua, untuk meningkatkan kepedulian sosial, khususnya bagi kepentingan anak-anak Indonesia, demi masa depan yang lebih baik.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

14 Juli 2009

Poligami Sakiti Hati Perempuan

Filed under: Budaya,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di Kompasiana.com 7 April 2009

POLIGAMI atau suami yang memiliki istri lebih dari satu, merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tidak ada satupun perempuan di dunia ini, yang merelakan suaminya menikah kembali. Mohon dipahami, bahwa poligami adalah masalah penyakit sosial, dan bukan dalam konteks agama apalagi terkait materi kampanye Pemilu.

ilustrasi

Komunitas Lentera telah membuat survei kualitatif kepada sejumlah responden perempuan, yang suami atau ayahnya menikah kembali. Hasilnya cukup mencengangkan, yakni para perempuan tersebut dengan perasaan sedih, akhirnya terpaksa merelakan orang yang dicintainya, untuk “berbagi” dengan perempuan lain. Kondisi memprihatinkan ini biasanya terjadi pada istri pertama, yang tidak menyangka suaminya mendua ke perempuan lain. Mereka merasa dikhianati, karena sang suami diam-diam menikah lagi.

Pemerintah seharusnya memiliki aturan yang tegas, tentang boleh tidaknya suami berpoligami di UU Perkawinan. Apalagi persoalan poligami biasanya seiring dengan kasus-kasus nikah siri, yang selama ini dipersoalkan oleh para istri. Masalah poligami merupakan masalah sosial di Indonesia yang sifatnya klasik sejak jaman dulu. Namun demikian, jika pemerintah berniat memiliki kemauan politik melakukan perubahan, maka masalah poligami, dan termasuk nikah siri, tidak akan berlarut-larut hingga kini.

Pemerintah juga harus segera memperbaiki ketahanan ekonomi nasional. Negara yang banyak terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan, biasanya akibat minimnya lapangan kerja bagi kaum perempuan.

Selama ini isu poligami lebih banyak dikaitkan sebagai isu agama daripada isu sosial. Sehingga pembelaan para pelaku poligami sering menggunakan dalil agama ketimbang keadilan. Padahal, poligami merupakan problem sosial kemasyarakatan. Dalam kacamata saya, poligami lebih berpengaruh buruk pada istri pertama ketika suami menikah kembali. Kondisi serupa juga terjadi pada istri kedua, ketika sang suami beristri ketiga dan seterusnya.

Dengan berpraktik poligami maka mau tidak mau kebutuhan ekonomi keluarga akan membengkak, seiring dengan bertambahnya istri. Apalagi selama ini, belum ada aturan formal yang spesifik mengenai poligami, karena hanya UU Perkawinan menyebutkan beberapa prasayarat jika pria ingin berpoligami, antara lain, bila sang istri tidak lagi mampu melayani suami dan pria dapat menikah lagi jika sudah mengantongi izin dari sang istri pertama. (*)

Saya Tak Alergi Bersama PSK

Filed under: Metropolitan,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

SAYA, Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera tak malu-malu merambah dunia kehidupan malam, untuk menjalin persahabatan dengan pekerja seksual komersial (PSK). Sehari-hari saya berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi ini, tidak merasa alergi berada di antara kalangan PSK. Bahkan, saya menganggap kalangan PSK di beberapa tempat di ibukota, layaknya sahabat yang membutuhkan orang yang bisa diajak curhat.

Saya berupaya menjadi pendengar yang baik. Biasanya, mereka curhat soal pekerjaan mereka yang sering menghadapi resiko kejahatan fisik. Kasihan mereka selama ini dimanfaatkan dan dieksploitasi sejak anak-anak. Sebagian besar kalangan PSK di Jakarta dan sekitarnya, sering mendapatkan tindakan yang tidak manusiawi. Tindakan itu antara lain, perlakuan kasar dari lelaki hidung belang, aksi tak senonoh oknum aparat berwajib, hingga hukuman psikologis dari masyarakat karena terpaksa menjadi PSK.

Kalangan PSK menjadi salah satu target suara Partai Karya Perjuanga atau biasa disebut Pakar Pangan. Berdasarkan instruksi dari Dewan Pimpinan Pusat Pakar Pangan, dimana saya sebagai fungsionarisnya, kelompok marjinal ini menjadi target perolehan suara, karena pada Pemilu 2004 tidak menggunakan hak pilih (golput). Kelompok selain kalangan PSK adalah mantan PSK, waria, kelompok gay dan lesbian.

Saya punya trik sendiri dalam melakukan pendekatan terhadap kalangan PSK dan mantan PSK di Jakarta dan sekitarnya. Salah satunya melalui kegiatan ilmiah, yang digelutinya dalam Komunitas Lentera. Ormas yang selama ini mengangkat isu-isu sosial-politik tersebut, menjadikannya ujung tombak tim riset yang mampu menembus kelompok masyarakat marjinal (terpinggirkan-red).

Kepada teman-teman PSK dan mantan PSK, tidak lupa saya juga mengaku sebagai aktivis partai politik. Dan memang benar, ternyata selama ini mereka golput karena tidak pernah diperhatikan aspirasinya. Pemerintah sudah saatnya memberdayakan kalangan PSK, di antaranya dengan menyiapkan program pemberdayaan bagi mantan PSK. Mereka harus ditampung di balai latihan tenaga kerja, kemudian dididik dan diarahkan sesuai keterampilan kerja. (*)

Diposting di kompasiana.com, 27 April 2009

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.