[SUARA HATI] nancy samola

19 Agustus 2009

Anak Jalanan: Tanggung Jawab Siapa?

Filed under: Budaya,Kemiskinan,Pengangguran,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di kompasiana.com 12 Juli 2009

SABTU MALAM (11/7), saya berkeliling di pusat kota Manado. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rekreasi santai ini malah bikin saya sumpek dan mulai stress. Betapa tidak? Ruas-ruas jalan di Kota Manado akhir-akhir ini, sering macet total, khususnya di sekitar perempatan jalan dan pusat-pusat perbelanjaan.

http://unhyonxeng.files.wordpress.com/2009/03/anak_jalanan_11.jpg

anak jalanan

Tapi yang menarik perhatian saya kali ini, yakni mulai banyaknya anak-anak jalanan di pintu masuk pusat perbelanjaan dan di sekita pusat perbelanjaan, untuk mengemis dengan cara berharap rasa iba dari setiap pengunjung yang melintas. Sudah parahkah inikah tingkat kemiskinan di kota Manado?

Meski mereka masuk dalam data dinas kesejahteraan sosial, tapi nyatanya perhatian dalam bentuk kebijakan, alokasi anggaran dan pembinaan masih sangat kurang. Salah satu indikasinya, hampir semua dinas atau instansi baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota mengaku belum memiliki data akurat tentang mereka. Di Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Utara misalnya, sampai saat ini belum ada data yang valid tentang anak jalanan, orang gila, gelandangan dan pengemis. Kalau pun ada, itu data dua tahun lalu.

Sesampai di rumah, saya langsung berselancar di dunia maya. Dan kini saya menemukan perkiraan jawaban dari tersebut. Banyaknya anak jalanan di Jakarta, karena pemerintah membiarkan terjadinya arus urbanisasi. “Penyebab banyaknya anak jalanan di Kota Jakarta akibat kurangnya upaya pemerintah mencegah urbanisasi,” ini kata Direktur Eksekutif Yayasan ISCO (Indonesian Street Chlidren Organization) Ramida Siringoringo.

Saya sepakat, masalah urbanisasi yang berlangsung sejak lama di Kota Jakarta dan mungkin termasuk di Manado, terjadi akibat banyak masyarakat pedesaan yang tergiur bekerja di ibukota karena menganggap kota besar sebagai tempat yang baik untuk mengadu nasib. Apalagi banyak masyarakat di pedesaan yang menjual lahan pertanian kemudian mengadu nasib ke ibukota. Tapi sayangnya, setelah sampai di ‘kota impian’ mereka akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, dan akhirnya menjadi bagian dari penduduk miskin.

Kondisi itu diperparah karena pemerintah tidak serius mengurusi anak-anak jalanan dan warga miskin di perkotaan. Untuk itu, pemerintah harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya di pedesaan, sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya urbanisasi, Jika lapangan pekerjaan ada di daerah mereka, tidak mungkin masyarakat dari pedesaan berlomba-lomba mengadu nasib ke kota besar.

BPS

Berdasarkan data Badan Pusat Stistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan pada 2008 yakni mencapai 41, 2 juta jiwa. Selain akibat arus urbanisasi, meningkatnya angka kemiskinan juga disebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok dan tidak stabilnya perekonomian dunia yang berimbas pada meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Inilah yang harus jadi perhatian serius pemerintah!
Pasal 34 UUD 1945 menyebut fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ini memang menjadi tantangan bagi siapa saja, yang mendapat legitimasi rakyat untuk memimpin. Fakir miskin dan anak-anak terlantar harus mendapat bantuan, dan bukan sekadar dijadikan obyek program. Begini bunyinya pasal 34 UUD 1945:

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

buku komprehensif

UUD 1945

Tapi sayangnya, meski kini sudah banyak lembaga sosial baik yang dikelola oleh organisasi keagamaan maupun organisasi sosial yang memberi perhatian terhadap mereka, upaya tersebut masih bergantung pada biaya pemerintah. Untuk itu, sudah saatnya, kita memang tidak bisa harus menyerahkan mereka pada lembaga sosial seperti itu. Bagi saya, pemerintah melalui instansi terkait harus mampu memapar kondisi sebenarnya di lapangan, mengkomunikasikan program kerjanya dan kemudian melaksanakannya.

Dan terahir, Pemerintah tak boleh berbohong! Kalau penanganan anak-anak jalanan sudah dilakukan, maka jangan sampai ada lagi anak jalanan berkeliaran di pusat-pusat ibukota. Mereka harus ‘diamankan’, dalam arti menampung, menyekolahkan, dan mengkaryakannya. Ini demi masa depan yang lebih baik.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

21 Juli 2009

Antara Koalisi, Flu Babi dan Saya

Diposting di Kompasiana 30 April 2009

TERKEJUT. Itulah kata pertama yang muncul, ketika saya membaca berita di sebuah situs berita internet, yang menyebutkan PDI Perjuangan mengungguli Partai Demokrat dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009. Ini memang hasil sementara. Tapi ibarat kemarau panjang, informasi ini ibarat segelas es teh manis di padang gurun.

Sebelum berita ini dilansir, sebagian besar media massa tampak asyik menampilkan manuver politisi menjelang Pemilu Presiden. Keasyikan media beberapa pekan ini, nyaris mengesampingkan titik jenuh masyarakat. Bukan lantaran tak menyukai perkembangan politik Tanah Air, tapi publik sudah bosan dengan warna parade monoton yang sepi penonton.

Lantas, apa hubungannya dengan flu babi?

http://puskesmaspajangan.files.wordpress.com/2009/05/flu-babi.jpg

ilustrasi virus

Virus mematikan asal negeri Mr.Sarmento ini, mampu mengalih isu. Bahkan, pejabat Departemen Kesehatan langsung kebakaran jenggot. Hadirnya kasus ini setidaknya telah menghidupkan mesin penangkal yang sudah dimasukkan ke dalam gudang. Padahal, kasus flu burung belum benar-benar berakhir.

Rapat pun digelar. Strategi dan perencanaan yang dianggap matang, disusun. Dan seperti biasa, sejumlah anggaran dana diajukan ke Sang Kasir, Bu Sri Mulyani. Uniknya, langsung cair!

Pentingkah antisipasi itu? Ya, penting tentunya. Tapi ini bukan soal keberpihakan masyarakat, karena itu adalah tugas pemerintah. Ini adalah soal kewajiban pemerintah, dalam melindungi setiap warganya.

Sayangnya, sampai saat ini penanganan flu babi lebih mirip dengan penanganan kasus virus menular lainnya. Setelah pneunomia, mulut-kuku, SARS dan flu burung, antisipasi flu babi berjalan di tempat. Yang terlihat di publik, para pakar kesehatan dan pejabat Depkes, menyanyikan lagu paduan suara. Lagu yang enak didengar, meski hanya sesaat dan untuk dikenang.

Bagi saya, perkembangan kasus flu babi mirip dengan atraksi politisi saat ini. Meminjam istilah kawan saya Iskandar Sitorus dari LBH Kesehatan, istilah ”babi” itu kependekan dari ”banyak bicara”. Kali ini, Iskandar yang bicaranya berapi-api itu, ada benarnya. Politisi, pejabat publik dan para pakar, berlomba-lomba bicara, terutama di depan wartawan.

Mudah-mudahan mereka belum lupa, kalau penanganan di lapangan lebih penting dilakukan, tanpa harus dipublikasikan. Dan jika mereka khilaf, maka itu artinya saya, akan kembali terkejut di depan layar komputer, ada apa gerangan berita yang bikin heboh lagi.

(Nancy Samola, antivis Komunitas Lentera)

360 Berita Gizi Buruk Selama Satu Tahun Terakhir

Filed under: Kemiskinan,Kesehatan,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: ,

Diposting di Kompasiana 8 Mei 2009

ilustrasi

MASIH ingat Monica Monteiro, anak penderita gizi buruk di Desa Oebelo Kupang Nusa Tenggara Timur, yang akhirnya meninggal dunia awal tahun 2009? Mudah-mudahan Anda belum lupa 10 bayi di Kabupaten Kediri Jawa Timur, yang meninggal dunia akibat mengalami gizi buruk selama tahun 2008.

Nah, di tengah hiruk-pikuk penangan pandemi flu babi dan tontonan koalisi yang monoton, ternyata sebuah berita kecil menyelip dan nyaris tak terpantau media massa. Candra Ageng Hermawan, seorang balita umur 33 bulan warga Dusun Jatirowo Jombang, Jawa Timur, masih tergolek lemah di salah satu bangsal perawatan RSD Jombang. Candra yang dirawat di rumah sakit itu sejak Senin (4/5) sore berdasarkan diagnosis tim dokter dipastikan mengalami marasmik kwarshiorkor atau gizi buruk.

foto: Kompas

Lantas, apa menariknya berita tersebut?

Sepintas, itu memang berita biasa. Sama seperti berita lainnya yang biasa terdapat di radio, televisi, koran dan situs berita internet. Tapi, tak sengaja saya iseng menggunakan tools search kompas.com dengan menggunakan kata kunci “gizi buruk”. Dan, alamak!

Hasilnya ada 360 judul berita gizi buruk, setidaknya sepanjang satu tahun terakhir. Silakan kembali meng-klik, di situlah judul-judul di kompas.com tersimpan berita gizi buruk. Heran?

Semoga, kasus terakhir gizi buruk di Jombang Jawa Timur, dan ratusan kasus gizi buruk di berbagai daerah lainnya, bisa menjadi inspirasi bagi kita semua, untuk meningkatkan kepedulian sosial, khususnya bagi kepentingan anak-anak Indonesia, demi masa depan yang lebih baik.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.