[SUARA HATI] nancy samola

20 Agustus 2009

Nasib Anggota Paduan Suara RI di Seoul

Filed under: Kesehatan,Mancanegara,Media — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 15 Juli 2009

SEORANG perempuan muda di Medan membuat saya terkejut, saat mengirim massage lewat Facebook. Saya memang tak mengenal perempuan Batak tersebut, karena ia belum terkoneksi menjadi teman dalam account Facebook saya. Tapi bukan itu yang membuat saya terkejut. Saya nyaris shock, karena massage-nya berisi tentang keluhan peserta Lomba Paduan Suara asal Indonesia, yang diperlakukan ‘kurang manusiawi’ setelah tertular virus H1N1.

https://i0.wp.com/www.ioe.ucla.edu/ctr/research/AvPath/influenza_A_virus.GIF

flu babi

Awalnya, saya ragu untuk mengabarkan informasi ini kepada rekan-rekan Kompasiana dan jurnalis di Kompas, khususnya tim moderator yang memberi inspirasi saya untuk menulis. Kekhawatiran saya beralasan, jika memposting info ini, bisa dianggap menyebarkan berita bohong, sekaligus memicu keresahan para pembaca setia Kompasiana.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak keluarga dan kerabat paduan suara, izinkan saya memposting massage tersebut. Postingan ini sengaja saya tayangkan, untuk mengungkap ‘behind the news’ di Korea Selatan (Korsel). Sekaligus, perlunya komitmen redaksi mengejar berita follow up dan fokus pada peristiwa yang dilakukan rekan-rekan jurnalis, terutama desk internasional.

TODAY is our 4th day of being quarantined, and it doesn’t seem everything is going to be better. There were 10 members of our group hospitalized since yesterday. This morning, another 2 persons hospitalized (in Masan Hospital? I m not sure). Other members are relatively healthy. I myself got a mild fever this morning (about 37.5 Celsius) and doctor gave me Tamiflu for 5 days. There are several people have already prescribed with Tamiflu since 9 July.

Until yesterday, we could still go out of the dorm to the convenience store and canteen to buy some snacks and light meals like sushi and instant noodles. Today, they tighten the security and do not allow us to go out of the building. We must stay in the building (level 5 and 6 only).

Children are not happy here. There are no facilities. Only room (two persons in one room) without aircon and no TV. Gladly, there are still few computers at level 6 to connect to the internet. We can use the internet until 11.30 pm. Food is relatively bad. Yesterday was the worst. Food came late. This is what has happened: no breakfast. Actually breakfast is a compliment from the dorm, but our group could not get it because we are isolated.

lunch came at 3pm. only pizza. limited amount, so each person can only take 2 slices. dinner came at 9pm. with pork. many of our members do not eat pork, then they didn’t eat last night.

this morning’s breakfast was only one soft bread per person. today’s lunch was very spicy. I myself (and some other people) cannot take spicy food, then I only ate the rice. another meal came around 4pm. I’m not sure whether it is for lunch, dinner, or for tomorrow?

MOHON untuk menggunakan sisi lain dalam mencermati informasi ini. Saya memberanikan diri untuk menggunakan sisi lain, untuk mereka-reka kondisi sebenaranya anggota paduan suara asal Indonesia, yang sejak pekan lalu diisolasi di rumah sakit karena terkena H1N1 atau nama lain dari flu babi.

Jumlah WNI yang menjadi delegasi Indonesia dalam festival paduan suara Asian Choir Games itu sebanyak 366 orang yang terbagi dalam sembilan grup. Mereka menginap di tiga tempat, yaitu 168 orang di Inje University, 115 orang di Masan University, dan 83 orang di penginapan lainnya. Mereka terdiri dari Paduan Suara Interna Jog’s Voice Yogyakarta (32 orang), PSM Universitas Hasanuddin Makassar (32 orang), Bitung City Chorale (43 orang), Vocafista Angels (51 orang), PSM Universitas Negeri Manado (34 orang), Elfa Music School (83 orang), Gorontalo Inovasi Choir (34 orang), PS Timutiwa (32 orang), dan Riau Female Choir (25 orang).

Indonesia ‘hanya’ meraih satu medali emas di ajang Asia Choir di Korsel. Indonesia gagal menambah medali, karena tidak melanjutkan lomba demi menghindari flu babi. Saya masih ingat, pada ajang tahun-tahun sebelumnya, senyum lebar mereka mewarnai kibaran bendera “Merah-Putih”, karena banyak mendulang medali emas dari beberapa kategori.

Sejak Sabtu 11 Juli 2009, sebanyak 12 dari 28 anggota rombongan Elfa’s Music School yang mengikuti Festival Paduan Suara Asia di Provinsi Gyeongnam, sekitar 400 kilometer di selatan Seoul, Korea Selatan, menjalani perawatan di sebuah rumah sakit karena positif terinfeksi influenza A-H1N1. Dalam berita yang terkhir dirilis di surat kabar Kompas, orang tua dari anggota rombongan Elfa’s Music School, mengatakan, kondisi anaknya sudah berangsur membaik dan tidak lagi menderita demam.

Tapi inilah anehnya, peserta anak-anak dari Elfa’s Music School, hingga kini belum diizinkan tim medis Korsel untuk pulang ke Tanah Air. Parahkah kondisi anak-anak yang menderita H1N1?

https://i0.wp.com/www.chevroncars.com/learn/flags/img/South-Korea-flag.gif

bendera korea selatan

Duta Besar RI untuk Korea Selatan Nicholas T Dammen (Senin, 13 Juli 2009) membenarkan 13 anak yang terdeteksi terinfeksi virus flu A-H1N1. Mereka kini dirawat di National Hospital di Masan di selatan Korea Selatan. Saya pecaya ucapan Pak Dubes, tapi sayang, itu cuma sesaaat. Pejabat kesehatan Korea Selatan, kemudian mengonfirmasi lagi 40 kasus influenza A (H1N1), sehingga jumlah kasus flu babi di Korsel mencapai 535 kasus. Pasien-pasien tersebut, termasuk 24 orang Indonesia, positif mengidap virus H1N1 setelah menunjukkan gejala flu.

Seperti dikutip dari kantor berita Yonhap, warga Indonesia tersebut tiba di Korsel pekan lalu untuk berpartisipasi dalam kompetisi paduan suara. Padahal, jumlah WNI yang mengidap virus H1N1 sampai Senin pagi masih 15 orang, namun dalam jangka waktu 24 jam jumlahnya terus bertambah.

Esoknya, Selasa 14 Juli 2009, ternyata ada 32 orang yang tergabung dalam rombongan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Universitas Hasanuddin, Makassar saat ini tertahan di Korea Selatan. Mereka belum bisa diizinkan pulang ke Indonesia setelah tiga orang yang ikut dalam rombongan tersebut, terkena virus H1N1. Ini berarti ada penambahan 8 pasien suspect H1N1.

Lantas, bagaimana update terkini dari Seoul? Nihil! Yang ada cuma sebuah massage dari Medan. Itupun hanya email dari seorang Panitia Asian Choir Games, yang masih diragukan kebenarannya. Tapi bagi saya, informasi sekecil apapun dalam sebuah peristiwa, tidak boleh dipandang sebelah mata.

Sebuah info entah dalam bentuk kata-kata ataupun sibol alam dan bahasa tubuh, tentu sangat berguna untuk merencanakan tindakan lebih matang. Minimal, tindakan itu sangat berguna untuk lebih menyelamatkan nyawa anak-anak, yang kabar beritanya tak ter-cover media massa.

Dan tentunya saya berharap, pemerintah RI segera melakukan langkah antisipasi cepat dan strategis, untuk menembus akses informasi kondisi warganya di luar negeri yang terkena masalah. Dan tentunya, jika info tersebut sudah didapat ataupun belum didapat, maka instansi terkait, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Kesehatan, bersikap terbuka memberikan perkembangan nasib WNI di Korsel.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

19 Agustus 2009

Ketika Tulisan Saya tak Diposting Kompasiana

Filed under: Agama,Media — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,

Diposting di kompasiana.com pada 8 Juli 2009

PAGI TADI, saya cuma bisa menghela nafas, ketika membuka situs kompasiana.com. Kemarin sore sebelumnya, saya mengirimkan sebuah tulisan, berharap agar diposting pada malam harinya. Patut dimaklumi, kalau menjelang Pilpres 2009 ini, banyak tulisan yang antri di “public blog kompasiana”.

https://i0.wp.com/nurulloh.kompasiana.com/files/2009/06/kompasiana-baru.jpg

kompasiana

Sedihkah tulisan saya tak diposting Tim Redaksi Kompasiana? JIka dari kacamata profesi saya sebagai dosen yang tak terkait ilmu jurnalistik, tentulah hal itu tak mengapa. Tapi, hati kecil saya mengatakan, apa yang salah dalam tulisan saya berjudul “Lagi-Lagi Berita Miring Kerukunan Umat Beragama” ? Apakah tulisan saya provokatif dan dapat menimbulkan keresahan? Bagi saya tidak. Saya hanya memberi gambaran kerukunan umat beragama, setidaknya 5 tahun terakhir. Lantas, apa penyebab tulisan saya berstatus “unpublished”.

Saya sependapat dengan anggota PublicBlog Kompasiana, Ragile, yang prihatin masa edar public blogger pada beranda depan (home page) hanya 3 jam. Padahal sebelumnya masa edar sampai 7 jam yg memberi kesempatan hidup postingan public blogger lebih lama dan rasional. Mungkin inilah salah satu faktor, kenapa tulisan saya harus berkompetisi dengan puluhan anggota lainnya. Bisa jadi, tulisan saya dianggap Tim Redaksi kurang baik, dari beberapa tuliasan yang terbaik. Atau mungkin, tulisan saya kebetulan saat dilakukan moderasi “dinilai paling buruk” dari tulisan buruk.

Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, saya berusaha berpikir positif. Tulisan saya berjudul “Lagi-Lagi Berita Miring Kerunan Umat Beragama” tersebut, bisa jadi bernuansa sensitif menjelang Hari Pencontrengan dan mengandung unsur black campaign. Yang saya tahu dari ilmu jurnalistik, hal itu tak perlu dikuatirkan, karena ada sebuah sumber link berita yang saya ambil dari situs berita Jawapos.

Awalnya saya berharap, tulisan tersebut dapat menjadi sebuah sumber inspirasi bagi semua pembaca kompasiana, tentang adanya fakta kerukunan umat beragama di Indonesia. Selama ini, berita-berita tentang aksi massa yang melibatkan kelompok mayoritas dan minoritas, sering tak mendapat tempat yang layak di media untuk diperbincangkan.

Akhirnya, saya cuma bisa berharap, semoga ada solusi dari tulisan yang tak terpublikasi, apalagi hal itu mencakup kebenaran dan fakta di lapangan. Jika informasi penting belum dimuat di situs kompas.com, saya pikir, tak ada salahnya mengemasnya ke dalam kompasiana. Tak perlu khawatirlah, pembaca kompasiana adalah user internet yang sudah cukup cerdas, sehingga tak usah khawatir secara berlebihan. Apalagi ada tools interacktive di bagian bawah postingan, maka penulis dapat berkomunikasi dengan para komentator. Hare gene gak masalahlah, berinteraksi dengan komentator real, maupun yang fiktif.

Sebagai solusi teknis, mungkin sudah dapat dipertimbangkan, agar ada satu link baru di kompasiana yang isinya adalah postingan penulis PublicBlog Kompasiana yang berstatus unpublished. Dengan cara demikian, kita semua dapat mengetahui tulisan-tulisan apa yang “diharamkan” Tim Redaksi. Bisa jadi dengan cara demikian, tulisan tersebut lebih memicu semangat interaktif dengan pembaca lainnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

27 Juli 2009

Iklan SBY : “Pemimpin” atau “Orang” Berpengaruh ?

Filed under: Mancanegara,Media — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , , ,

Diposting di Kompasiana.com pada 19 Mei 2009

USAI pulang berlibur dari Pulau Lihaga bersama kawan-kawan, saya kembali bersama komputer jadul dan internet lemot di kamar saya. Setelah “on”, saya membuka email dari kawan-kawan. Salah satu yang menarik, teman saya meminta menganalisis iklan kampanye di situs berita internet.

Saya langsung membuka situs favorit saya kompas.com. Mulai ada yang aneh saat saya sebuah iklan di halaman utama situs kompas.com.

Di pojok kanan layar ada iklan animasi “SBY Presidenku” yang jika diklik, langsung tampil ke halaman utama sbypresidenku.com. Setelah melihat komentar beberapa anggota masyarakat yakni dari kalangan pedagang, perempuan, kawula muda dan petani dalam iklan tersebut, kemudian muncul logo “TIME”.

Di dalam iklan itu, muncul tulisan “Selamat Atas Terpilihnya Presiden SBY sebagai orang paling Berpengaruh di Dunia” dan “Bangsa Indonesia Turut Bangga Atas Penghargaan Dunia terhadap salah satu Putra Terbaik Bangsa”

Di sinilah persoalan itu muncul.

Saya coba telusuri situs resmi “TIME” di time.com, kemudian mencari berita tentang 100 orang berpengaruh di dunia. Dalam The 2009 TIME 100 Finalists – TIME, ternyata tidak ada nama Susilo Bambang Yudhoyono. Di kategori tersebut sangat banyak latar belakang orang-orang yang dianggap berpengaruh, seperti politisi, ekonom, tokoh agama, olahragawan, musisi hingga bintang film.

Nama Pak Beye, yang akrab disebut-sebut di blog ini, hanya terdapat di kategori Leaders & Revolutionaries. Kategori ini termasuk kategori tokoh-tokoh dunia lainnya di Builders & Titans, Artists & Entertainers, Heroes & Icons dan Scientists & Thinkers.

Di tampilan situs tersebut, memang benar ada profil Pak Beye yang ditulis Anwar Ibrahim, lengkap dengan sikap beliau berpose salam hormat ala militer.

Lantas, kenapa Pak Beye menghilang dari daftar The 2009 TIME 100 Finalists? Ini cukup menarik, tapi saya tak sangggup menjawabnya. Jika saya pemilik “TIME” mungkin sudah saya jewer anak buah saya, kenapa malah memasukkan orang tambahan. Yang bikin kepala saya pusing, justru ada tokoh fiktif, yang justru populer di kalangan pembaca “TIME”.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

24 Juli 2009

Carlos Pardede Vs Boediono

Filed under: Media,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di Kompasiana, 14 Mei 2009

KEKERASAN terhadap jurnalis kembali terjadi. Anehnya, kasus terbaru kali ini, justru terjadi ‘hanya’ dipicu oleh persoalan tata tertib tamu di Gedung Bank Indonesia.

untitled

Carlos Pardede, jurnalis SCTV

Adalah Carlos Pardede, Sang Reporter stasiun televisi SCTV, yang dianiaya petugas keamanan BI, saat hendak melakukan peliputan di Gedung Bank Indonesia, Jakarta (13/5). Keributan terjadi di pintu gerbang Gedung BI. Saat itu, Carlos bermaksud mencari kesempatan mewawancarai Gubernur BI Boediono, yang dipastikan dipinang Susilo Bambang Yudhoyono menjadi cawapres.

Terus terang, saya tak kenal satpam BI, apakah mereka selama ini bertindak represif dengan para tamu. Saya juga belum mengenal Carlos. Bisa jadi, pria etnis Batak itu sebelum insiden terjadi dengan pihak keamanan BI, tidak mengetahui adanya tata-tertib ‘meyetor’ identitas KTP ke pihak penerima tamu BI di pintu gerbang.

Justru di sinilah muncul pertanyaan itu.

http://www.kabarpemilu.com/~warehouse/img/preview/20090513mDSC_7080siar.jpg

Kartu Pers digantung di gerbang Bank Indonesia

Apakah selama ini ada kewajiban ‘menyetor’ KTP di gerbang masuk BI? Atau ini sebenarnya hanya alasan halus dari pihak keamanan gedung, untuk mengusir kalangan jurnalis yang ingin meliput Gubernur Bank Indonesia Budiono? Jika memang demikian, apa motivasi mengusir jurnalis, ketika ‘good news’ sedang di depan mata?

Kali ini, saya imencoba menggunakan kacamata Budiono. Jika saya adalah Budiono yang dirumorkan akan menjadi kandidat cawapres Susilo Bambang Yudhoyono, maka saya tidak akan melarang jurnalis yang ingin menemui saya. Bahkan, saya akan perintahkan pihak humas, agar menjadwalkan pertemuan khusus dengan kalangan media cetak maupun elektronik, karena tentunya, mereka punya segmen khusus yang membutuhkan wawancara eksklusif.

Sulitkah itu dilakukan? Tentu tidak!

https://i0.wp.com/www.tribunkaltim.co.id/photo/2009/03/6ef584d2ef2a17481aae5a64fb335422.jpg

Boediono

Itu tergantung isi kepala dan hati Sang Gubernur BI. Mungkin saja, saat itu ia sedang geram dengan tayangan-tayangan di SCTV, yang menyudutkan posisi atau kinerja BI. Atau bisa jadi, Budiono sedang risih didatangi kalangan jurnalis, karena kesibukannya sebagai jurukunci bank sentral. Apalagi, dalam beberapa bulan terakhir, Budiono tampak sibuk bolak-balik ke Istana Kepresidenan, untuk berkonsultasi menetralisir gejolak pasar keuangan, menyusul krisis global yang dibawa oleh dampak krisis Amerika Serikat.

Saya yakin, Budiono tak mengenal Carlos Pardede. Saya juga percaya, tak ada masalah pribadi antara Budiono dan Carlos Pardede, sebelum insiden terjadi. Seorang jurnalis andal sekaliber Carlos Pardede, tentunya tidak akan dendam, apalagi menghubungkan kasus dirinya dengan pribadi Budiono. Hubungan Carlos dengan Budiono, hanya sebatas jurnalis dan nara sumber, dan bukan korban dan tersangka pidana.

Tapi yang pasti, kasus kekerasan terhadap jurnalis, menambah coreng kebebasan pers. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2008 tercatat 60 kasus kekerasan. Tindakan kekerasan tersebut meliputi serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus) dan  penyanderaan (1 kasus).

Dari kasus kekerasan yang tercatat, menunjukkan indeks kebebasan pers di negara ini setelah 10 tahun reformasi justru menurun. Dari data Reporters Sans Frontiers (organisasi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers di dunia), Indonesia yang menempati posisi 100 turun menjadi 111 tahun 2008. Padahal, indeks kebebasan pers tersebut dipercaya oleh publik internasional sebagai tolok ukur demokrasi di suatu negara.

Sudah saatnya ada di setiap benak kalangan pejabat dan kelompok masyarakat, agar tidak menghalang-halangi jurnalis yang sedang melakukan tugas peliputan, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk memblokade pemberitaan. Saya sepakat, kekerasan terhadap pers bukan hanya tindak kriminal yang diancam pidana, namun juga melanggar hak masyarakat untuk mendapat informasi.

https://i0.wp.com/www.antarajatim.com/UserFiles/imageberita/bi.jpeg

Aksi solidaritas Carlos Pardede di daerah

Lantas, pahamkah seorang Budiono tentang kebebasan pers? Saya berupaya berpikir positif, bahwa Budiono paham betul tentang kerja jurnalis. Mudah-mudahan, insiden yang terjadi di halaman kantornya, menjadikan sang bakal calon wakil presiden itu, menjadi lebih dewasa. Dengan demikian, Budiono akan mengerti, jika ia sedang tidak ingin diwawancarai, maka akan memerintahkan petugas satpamnya, supaya mengedepankan sikap bersahabat dengan para jurnalis.

Atau minimal, pejabat di BI memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Dan paling minimal, wajib menyediakan sarapan pagi kepada para satpamnya, agar tak bertampang galak menghadapi para tamu.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.