Diposting di kompasiana.com pada 15 Juli 2009
SEORANG perempuan muda di Medan membuat saya terkejut, saat mengirim massage lewat Facebook. Saya memang tak mengenal perempuan Batak tersebut, karena ia belum terkoneksi menjadi teman dalam account Facebook saya. Tapi bukan itu yang membuat saya terkejut. Saya nyaris shock, karena massage-nya berisi tentang keluhan peserta Lomba Paduan Suara asal Indonesia, yang diperlakukan ‘kurang manusiawi’ setelah tertular virus H1N1.
flu babi
Awalnya, saya ragu untuk mengabarkan informasi ini kepada rekan-rekan Kompasiana dan jurnalis di Kompas, khususnya tim moderator yang memberi inspirasi saya untuk menulis. Kekhawatiran saya beralasan, jika memposting info ini, bisa dianggap menyebarkan berita bohong, sekaligus memicu keresahan para pembaca setia Kompasiana.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak keluarga dan kerabat paduan suara, izinkan saya memposting massage tersebut. Postingan ini sengaja saya tayangkan, untuk mengungkap ‘behind the news’ di Korea Selatan (Korsel). Sekaligus, perlunya komitmen redaksi mengejar berita follow up dan fokus pada peristiwa yang dilakukan rekan-rekan jurnalis, terutama desk internasional.
TODAY is our 4th day of being quarantined, and it doesn’t seem everything is going to be better. There were 10 members of our group hospitalized since yesterday. This morning, another 2 persons hospitalized (in Masan Hospital? I m not sure). Other members are relatively healthy. I myself got a mild fever this morning (about 37.5 Celsius) and doctor gave me Tamiflu for 5 days. There are several people have already prescribed with Tamiflu since 9 July.
Until yesterday, we could still go out of the dorm to the convenience store and canteen to buy some snacks and light meals like sushi and instant noodles. Today, they tighten the security and do not allow us to go out of the building. We must stay in the building (level 5 and 6 only).
Children are not happy here. There are no facilities. Only room (two persons in one room) without aircon and no TV. Gladly, there are still few computers at level 6 to connect to the internet. We can use the internet until 11.30 pm. Food is relatively bad. Yesterday was the worst. Food came late. This is what has happened: no breakfast. Actually breakfast is a compliment from the dorm, but our group could not get it because we are isolated.
lunch came at 3pm. only pizza. limited amount, so each person can only take 2 slices. dinner came at 9pm. with pork. many of our members do not eat pork, then they didn’t eat last night.
this morning’s breakfast was only one soft bread per person. today’s lunch was very spicy. I myself (and some other people) cannot take spicy food, then I only ate the rice. another meal came around 4pm. I’m not sure whether it is for lunch, dinner, or for tomorrow?
MOHON untuk menggunakan sisi lain dalam mencermati informasi ini. Saya memberanikan diri untuk menggunakan sisi lain, untuk mereka-reka kondisi sebenaranya anggota paduan suara asal Indonesia, yang sejak pekan lalu diisolasi di rumah sakit karena terkena H1N1 atau nama lain dari flu babi.
Jumlah WNI yang menjadi delegasi Indonesia dalam festival paduan suara Asian Choir Games itu sebanyak 366 orang yang terbagi dalam sembilan grup. Mereka menginap di tiga tempat, yaitu 168 orang di Inje University, 115 orang di Masan University, dan 83 orang di penginapan lainnya. Mereka terdiri dari Paduan Suara Interna Jog’s Voice Yogyakarta (32 orang), PSM Universitas Hasanuddin Makassar (32 orang), Bitung City Chorale (43 orang), Vocafista Angels (51 orang), PSM Universitas Negeri Manado (34 orang), Elfa Music School (83 orang), Gorontalo Inovasi Choir (34 orang), PS Timutiwa (32 orang), dan Riau Female Choir (25 orang).
Indonesia ‘hanya’ meraih satu medali emas di ajang Asia Choir di Korsel. Indonesia gagal menambah medali, karena tidak melanjutkan lomba demi menghindari flu babi. Saya masih ingat, pada ajang tahun-tahun sebelumnya, senyum lebar mereka mewarnai kibaran bendera “Merah-Putih”, karena banyak mendulang medali emas dari beberapa kategori.
Sejak Sabtu 11 Juli 2009, sebanyak 12 dari 28 anggota rombongan Elfa’s Music School yang mengikuti Festival Paduan Suara Asia di Provinsi Gyeongnam, sekitar 400 kilometer di selatan Seoul, Korea Selatan, menjalani perawatan di sebuah rumah sakit karena positif terinfeksi influenza A-H1N1. Dalam berita yang terkhir dirilis di surat kabar Kompas, orang tua dari anggota rombongan Elfa’s Music School, mengatakan, kondisi anaknya sudah berangsur membaik dan tidak lagi menderita demam.
Tapi inilah anehnya, peserta anak-anak dari Elfa’s Music School, hingga kini belum diizinkan tim medis Korsel untuk pulang ke Tanah Air. Parahkah kondisi anak-anak yang menderita H1N1?
bendera korea selatan
Duta Besar RI untuk Korea Selatan Nicholas T Dammen (Senin, 13 Juli 2009) membenarkan 13 anak yang terdeteksi terinfeksi virus flu A-H1N1. Mereka kini dirawat di National Hospital di Masan di selatan Korea Selatan. Saya pecaya ucapan Pak Dubes, tapi sayang, itu cuma sesaaat. Pejabat kesehatan Korea Selatan, kemudian mengonfirmasi lagi 40 kasus influenza A (H1N1), sehingga jumlah kasus flu babi di Korsel mencapai 535 kasus. Pasien-pasien tersebut, termasuk 24 orang Indonesia, positif mengidap virus H1N1 setelah menunjukkan gejala flu.
Seperti dikutip dari kantor berita Yonhap, warga Indonesia tersebut tiba di Korsel pekan lalu untuk berpartisipasi dalam kompetisi paduan suara. Padahal, jumlah WNI yang mengidap virus H1N1 sampai Senin pagi masih 15 orang, namun dalam jangka waktu 24 jam jumlahnya terus bertambah.
Esoknya, Selasa 14 Juli 2009, ternyata ada 32 orang yang tergabung dalam rombongan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Universitas Hasanuddin, Makassar saat ini tertahan di Korea Selatan. Mereka belum bisa diizinkan pulang ke Indonesia setelah tiga orang yang ikut dalam rombongan tersebut, terkena virus H1N1. Ini berarti ada penambahan 8 pasien suspect H1N1.
Lantas, bagaimana update terkini dari Seoul? Nihil! Yang ada cuma sebuah massage dari Medan. Itupun hanya email dari seorang Panitia Asian Choir Games, yang masih diragukan kebenarannya. Tapi bagi saya, informasi sekecil apapun dalam sebuah peristiwa, tidak boleh dipandang sebelah mata.
Sebuah info entah dalam bentuk kata-kata ataupun sibol alam dan bahasa tubuh, tentu sangat berguna untuk merencanakan tindakan lebih matang. Minimal, tindakan itu sangat berguna untuk lebih menyelamatkan nyawa anak-anak, yang kabar beritanya tak ter-cover media massa.
Dan tentunya saya berharap, pemerintah RI segera melakukan langkah antisipasi cepat dan strategis, untuk menembus akses informasi kondisi warganya di luar negeri yang terkena masalah. Dan tentunya, jika info tersebut sudah didapat ataupun belum didapat, maka instansi terkait, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Kesehatan, bersikap terbuka memberikan perkembangan nasib WNI di Korsel.
(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)