[SUARA HATI] nancy samola

21 Agustus 2009

“Selamat Jalan Evert, Selamat Datang Evert Jr.”

Filed under: Pendidikan,Politik,Terorisme — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

HARI INI Senin (20/7) jenasah korban pemboman Hotel JW Marriott, Evert Mokodompis, 33 tahun, rencananya dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Joglo Jakarta Barat. Almarhum Evert adalah seorang dari 9 korban tewas akibat aksi teror bom, di 2 hotel berbintang Jakarta Jumat lalu (17/7).

Berkas:Bom2009.jpg

Bom Mega Kuningan

Evert meninggalkan istri dan dua anaknya. Anak pertama Angel berusia empat tahun, sedangkan anak yang kedua, baru saja lahir pada Sabtu 18 Juli 2009, setelah ledakan bom merenggut kehidupan Evert. Istri korban, bernama Ratna, terpukul dengan fakta kematian itu. Ratna baru diberitahu kematian Evert hari Minggu (19/7).

Sedihnya membaca berita ini. Almarhum Evert adalah Chef Banquet yang berstatus sebagai karyawan di Hotel JW Marriot. Saat bertugas di hari nahas, ia tengah menantikan kelahiran putera keduanya. Sehari setelah Evert tewas, Sabtu (18/7), sang istri melahirkan.

Dalam pengamatan saya, Sang Istri dan anak almarhum baru saja lolos dari maut. Dan, berhasilnya proses persalinan ini atas dukungan pihak keluarga dan kerabat, yang ‘sengaja’ tak memberi-tahukan informasi keberadaan korban ketika ledakan bom terjadi.

Lahirnya bayi Evert sengaja dikondisikan, agar Sang Ibu ‘diasingkan’ dari gencarnya berita dan publikasi bom di media massa khususnya televisi. Jika Sang Ibu mengetahui adanya peristiwa tersebut menjelang persalinan, dikhawatirkan akan mengguncang mental dan jiwanya, yang pada akhirnya dapat mengganggu proses persalinan.

Semoga ini dapat menjadi contoh untuk kita semua, agar senantiasa menjaga proses persalinan ibu yang akan melahirkan, demi keselamatan ibu dan sang bayi. Meski Sang Teroris berhasil mencabut sejumlah nyawa manusia, tapi nyawa seorang bayi dapat terselamatkan dari teror tak langsung.

Inilah good news tersebut!

Kita jangan sampai terbelenggu oleh pemberitaan duka korban dan lambannya penyelidikan aparat penegak hukum. Mari, jadikan sekecil apapun berita kemenangan korban, di balik teror bom Mega-Kuningan. Bagi saya, berita seperti ini adalah kekalahan Teroris, yang awalnya merasa berhasil menebar kecemasan di kalangan masyarakat. Minimal, tak 100 persen teror yang telah diciptakan, sudah mampu membuat masyarakat takut.

Media harus berperan kuat memberikan penguatan-penguatan sosial. Seburuk apapun peran pemerintah dan aparat dalam mengungkap tabir aksi-teror, kondisi tatanan publik seperti ini merupakan kemenangan tersendiri dalam upaya memerangi kejahatan terorisme. Masyarakat tentunya secara tak sadar telah paham untuk menyembunyikan informasi, agar tak mengganggu proses alamiah dalam sebuah kehidupan.

Tapi yang jelas, Pemerintah juga tak boleh lupa tanggung jawabnya. Selain menangkap dalang di balik ini semua, para korban bencana harus mendapat perhatian serius, demi kelangsungan hidup mereka selanjutnya.

Cukup sudah cerita pilu para korban teror bom sebelumnya. Sudah banyak kisah menyedihkan para korban yang menderita cacat seumur hidup, sulit mendapat tempat layak di masyarakat. Maka mulai saat ini, siapa pun yang menjadi korban, sudah selayaknya dilindungi dan dipelihara oleh negara. Mereka yang kehilangan pekerjaaan, wajib diberikan tunjangan sosial yang layak. Dan mereka yang menjadi yatim-piatu, harus diberikan pendidikan hingga dewasa. Itulah kekalahan teroris!

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

‘Indonesia All Star’ Lolos dari Maut

Filed under: Olahraga,Politik,Terorisme — nancysamola @ 10:43

Diposting di Kompasiana.com pada 17 Juli 2009

PAGI TADI sebelum mengajar, saya terkejut saat menonton televisi. Sedih, prihatin dan marah bercampur jadi satu. Saya paling benci yang namanya aksi kekerasan, terutama kejahatan yang dilakukan kelompok teroris.

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/3/3f/Bom2009.jpg/250px-Bom2009.jpg

Bom Mega Kuningan

Dua hari menjelang kedatangan tamu kesebelasan Manchester United, sebuah ledakan terjadi di Kawasan Mega Kuningan, di dekat Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, Jumat (17/7). Ledakan itu menurut versi detik.com, terjadi pukul 07.40 WIB, sementara wikipedia menyebut bom pertama meledak pukul 07.45 WIB, sedangkan kompas.com melansir pukul 07.30 WIB. Tapi tampaknya, saya sependapat dengan kompas.

Okelah, pihak MU membatalkan rencana pertandingan persahabatan di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta. Mungkin, ini dianggap sebagai keputusan bijak dari tim official, untuk memberi ruang bagi aparat penegak hukum di Indonesia, dalam mengungkap kasus teror bom ini.

Satu hal yang menarik bagi saya, Tim nasional Indonesia yang beberapa hari ini menginap di Hotel JW Marriott, selamat dari peristiwa tersebut. Mereka semua selamat, karena berangkat dari hotel untuk latihan ke GBK, hanya beberapa menit menjelang ledakan bom yang pertama. Faktor apa yang menyelamatkan mereka?

Dalam tulisan ini, saya menggunakan kacamata faktor lucky yang berpihak pada pasukan Indonesia All Star. Saya merasa bersyukur atlet kebanggaan Tanah Air itu, lolos dari maut. Hati kecil saya berkata, TUHAN sedang merencanakan sesuatu yang indah pada setiap Anak Bangsa.

Entah apa yang terjadi, jika mereka terlambat berangkat dari Hotel JW Marriott. Sebagai penggemar sepak bola—meski hanya hobi menonton saja—saya salut dengan kinerja pelatih timnas Benny Dollo, yang menerapkan disiplin pada pasukannya.

Mungkin saja (karena belum ada informasi rinci), timnas sempat menikmati sarapan pagi di restoran hotel berbintang tersebut. Tentunya, Sang Coach mempersiapkan dan melaksanakan jadwal secara ketat, agar timnas tak terlambat tiba di GBK. Nah, disiplin tinggi yang diterapkan timnas ini, menurut saya, yang menyelamatkan nyawa dan masa depan mereka. Selain doa, tentunya.

(Timnas RI/Foto:Tri Saputro)

Dalam sebuah berita, pasukan Benny Dollo meninggalkan hotel untuk latihan sebelum ledakan bom terjadi di Marriot dan Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, sekitar pukul 07.40 WIB, Jumat, 17 Juli 2009. Uniknya, Benny Dollo sendiri saat ini mengaku tetap akan fokus untuk memimpin latihan timnas Merah Putih. Padahal, tim ‘Setan Merah’ sudah secara remi membatalkan kunjungan mereka ke Jakarta dan Bali.

Setelah mendapat saran dari sejumlah pihak, termasuk Kementrian Luar Negeri Inggris, United mengkonfirmasi tidak akan terbang ke Jakarta.

Saya dan mungkin fans kesebelasan PSSI lainnya, menyayangkan pembatalan MU ke Indonesia. Tapi coba bayangkan, Benny Dollo tetap fokus untuk memimpin latihan timnas Merah Putih, dan tak peduli up date berita terkini pasca-ledakan. Dalam pikiran mereka, “Yang penting latihan, membawa panji bangsa dan negara melawan MU“.

Inilah salah satu wujud puji syukur, meski di lain pihak, kita berduka atas jatuhnya korban jiwa. Dalam konteks ini, kita harus tetap mengutuk aksi terorisme, tapi di lain pihak, kita berbangga hati melihat kegigihan timnas berlatih.

Bagi yang sudah memiliki tiket menonton di GBK, tak usah bersedih pembatalan kedatangan MU. Percayalah, TUHAN memiliki rencana untuk timnas dan MU, dibalik peristiwa ini. Minimal, masih ada waktu untuk membenahi PSSI. Dan, semoga rencana itu, indah pada saatnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

20 Agustus 2009

H1N1+H5N1=Siaga 1?

Filed under: Kesehatan,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 16 Juli 2009

OALA… Hari ini saya kena flu. Mungkin, ini lantaran beberapa hari ini saya begadang untuk menyelesaikan tugas di kampus, dan tak diimbangi dengan istirahat yang cukup. Pagi tadi, saya sudah mengkonsumsi obat infuenza, yang selama ini dipakai turun-temurun oleh keluarga. Dan tentu, mungkin karena sugesti, saya berharap segera pulih, supaya tak mengganggu aktivitas saya.

Tapi, sugesti yang saya harapkan kali ini, tampaknya kurang berpihak. Mungkinkah karena saya membaca berita di situs kompas.com berjudul “A-H1N1, Jumlah Korban Positif 142 orang” ? Informasi ini tentunya mengejutkan, karena rasanya, saya menganggap pasien H1N1–yang pernah disebut-sebut flu babi–hanya beberapa saja. Karena berita inikah, flu saya jadi sulit sembuh?

Bu Menkes Siti Fadilah Supari tampaknya makin teliti dalam tugasnya sebagai abdi negara. Beliau tampaknya sudah sangat paham kondisi di lapangan, setelah belajar dari kasus flu burung. Cuma masalahnya, pernyataan Bu Menteri tadi malam (15/7) itu, kok bikin dengkul saya jadi lemas. Ia bilang, “Meskipun angka kematian influenza A-H1N1 di dunia sangat rendah yakni 0,4%, namun penularannya sangat cepat.”

Bolehlah bersikap kritis, tapi mbok ya, jangan nakutin gitu lho Bu…

Untungnya, ada imbauan Bu Menteri kepada masyarakat, yakni agar tetap waspada dan senantiasa membiasakan pola hidup bersih dan sehat diantaranya mencuci tangan dengan sabun, dan melaksanakan etika batuk dan bersin yang benar. Apabila flu dalam 2 hari tidak membaik segera ke dokter. Kemudian, jika ada gejala Influenza, maka gunakan masker dan tidak ke kantor, ke sekolah atau ke tempat-tempat keramaian dan istirahat di rumah selama 5 hari. Wah, yang terakhir saya tak setuju, karena 5 hari tak ngantor, bisa dianggap mengundurkan diri.

Masalahnya, di kota Manado tempat saya menetap ini, kabarnya sudah ada 2 pasien suspect H1N1 yang dirawat di ruang isolasi rumah sakit. Akibat berpikir pernyataan Bu Menteri itu, kini badan saya jadi lemas, dan ingin rasanya berbaring di kasur empuk.

Bagi saya, Bu Menteri jangan terlalu banyak omdo (omong doang). Publik sudah makin pintar untuk membedakan, mana pejabat pemerintah yang benar-benar bekerja, dan mana yang sekedar tebar pesona. Tentunya, adalah lebih bijak, jika Departemen Kesehatan mengamankan distribusi tamiflu, obat lisensi Badan Kesehatan Dunia WHO, karena kabarnya disediakan sebanyak 3 juta tablet tamiflu.

Malah, pemerintah seyogyanya tetap memantau penularan virus avian influenza H5N1 (flu burung), serta memetakan sebarannya untuk mencegah terjadinya percampuran dengan virus influenza A (H1N1) yang dikhawatirkan dapat memunculkan jenis virus influenza baru yang lebih ganas dan mematikan. Sudahkah jajaran Departemen Kesehatan sadar akan hal ini?

Seberapa Bahaya H5N1+H1N1 ?

Selama ini kalangan ilmuan mengatakan, kematian yang terjadi pada pasien positif influenza A-H1N1 pada umumnya disebabkan karena penyakit lain yang menyertainya seperti orang dalam kondisi lemah. Kepala Laboratorium Penelitian Flu Burung Universitas Airlangga Chairil Anwar Nidom mengatakan, virus influenza A (H1N1) masih labil dan kemungkinan masih ada virus AI H5N1. Kalau ada mediator, keduanya bisa bercampur dan memunculkan jenis virus baru yang mungkin lebih ganas. Nah, saya lebih senang ‘ditakuti’ oleh narasumber yang berkompeten, daripada sama Bu Menteri.

Saya sepakat dengan Pak Nidom, pemerintah harus memetakan lagi sebaran virus AI H5N1 pada unggas dan manusia serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya percampuran. Percampuran antara sub-sub tipe virus influenza A (H1N1) dan H5N1 dapat memunculkan banyak varian virus influenza A, yang salah satunya mungkin lebih mematikan dan berpotensi menimbulkan pandemi. “Kalau sudah begitu, bukan hanya Indonesia saja yang terancam, seluruh dunia juga akan ikut terancam,” kata Nidom.

Hore.. Akhirnya saya benar-benar takut..!!

Nah, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan koordinasi dengan instansi terkait, untuk mencegah penyebaran influenza A H1N1 yang lebih luas di Indonesia. Upaya itu misalnya: penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan, penyiapan RS rujukan, penyiapan logistik, penguatan pelacakan kontak; penguatan surveilans ILI, penguatan laboratorium, komunikasi, edukasi dan informasi. Upaya lainnya berupa community surveilans yaitu masyarakat yang merasa sakit flu agak berat, seharusnya mendapat pelanyanan di Puskesmas, sedangkan yang berat bisa ke rumah sakit.

(Nancy Samola, Aktivis Komunitas Lentera)

19 Agustus 2009

Mimpi Saya Bersama Bu Mega, Pak Beye dan Pak Jeka

Filed under: Humor,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di kompasiana.com pada 3 Juli 2009

USAI menonton acara Debat Capres di televisi tadi malam, saya merasa lelah lantaran seharian tugas mengajar yang cukup berat. Belum lama tertidur, saya bermimpi satu pesawat dengan Bu Mega, Pak Jeka dan Pak Beye. Saya pun langsung terjaga karena pesawat itu mau jatuh.

Begini mimpi saya:

Saya bersama tim UNICEF Indonesia, di suatu siang berangkat menggunakan pesawat terbang menuju Jakarta. Rombongan ini jumlahnya hampir 100 penumpang, dan sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Puluhan anak tersebut merupakan penderita gizi buruk, yang dikumpulkan dari beberapa daerah seperti NTB, Pekalongan, Tegal dan Bekasi. Selama perjalanan di udara, suasana cukup menyenangkan.

Nah, rencama kami untuk tiba di Jakarta, mengalami perubahan mendadak. Ternyata pesawat militer yang membawa kami, harus mengubah arah ke-3 lokasi berbeda. Manurut Sang Pilot, dirinya diperintahkan untuk menjemput 3 capres yang baru saja berkampanye. Rupanya mereka ngotot dijemput, karena harus menghadiri acara debat di televisi malam nanti.

https://i0.wp.com/www.sudirodesign.com/album/album_42.jpg

ilustrasi

Akhirnya, pesawat yang kami tunpangi terisi sesak oleh penumpang, termasuk 3 penumpang tambahan, Bu Mega, Pak Jeka dan Pak Beye. Perjalanan pun dilanjutkan, dan kini hampir senja.

Cerita ini berubah menegangkan, menjelang pesawat mendarat di Jakarta. Kembali Sang Pilot memberi pengumuman. Oala, tapi kali ini dikatakan, bahwa mesin pesawat mengalami gangguan. Suasana pun jadi menegangkan. Para capres dengan sikap bijaksana, membantu memasangkan tas parasut ke para penumpang. Mereka berkilah, hanya memasang tas parasut, setelah seluruh penumpang telah terpasang tas parasut.

Satu per satu penumpang terjun melalui pintu darurat.

Nah, kini tinggal kami berempat. Ternyata Sang Pilot diam-diam telah melompat dari pintu depan. Pesawat pun tak lama lagi menghujam ke bumi. Sayangnya, hanya tersisa 3 tas parasut.

Pak Jeka langsung berkata, “Lebih cepat, lebih baik!”. Ia pun langsung memasang tas parasut, dan tanpa pamit lagi melompat ke luar pesawat.

Pak Beye panik karena merasa didahului. Dengan cekatan tangannya meraih satu tas, dan berkata “Saya harus melanjutkan tugas.” Ia pun bergegas melompat dengan tas yang belum terpasang.

Kini, tinggal saya dan Bu Mega. Waktu pun mulai menipis. Bu Mega berkata, “Nancy, biarlah kamu memakai tas saya. Kamu masih muda. Pasti punya harapan hidup lebih lama daripada saya.”

Saya tersenyum dan meraih tangan Bu Mega ke arah pintu keluar. “Bu, tas parasutnya masih ada 2 kok. Kayaknya Pak Beye mengambil tas mengajar saya.” Tas parasut terpasang, dan kami penumpang terakhir yang melompat ke luar pesawat. Dan, saya pun terbangun dari tidur.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

28 Juli 2009

Mempersoalkan dan Mendukung Monolog Butet

Filed under: Budaya,Politik,Seni — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , , ,

Diposting di Kompasiana pada 12 Juni 2009

SEPERTI biasa, setiap akhir pekan, saya melakukan searching berita populer di kompas.com. Kali ini, ada hal yang menarik mata saya saat meng-klik berita di tools halaman nasional. Beberapa berita populer yang masuk jajaran teratas, ternyata diwarnai oleh atraksi monolog Butet Kertaradjasa, seniman favorit saya. Kok bisa menarik perhatian pembaca?

Nah, ini dia persoalan, dan sekaligus bukan persoalan menarik itu.

BUTET KERTARADJASA, by hariadi saptono

Ketenaran Mas Butet di dunia politik saat ini, dipicu oleh deklarasi Pemilu Damai Presiden dan Wakil Presiden 2009, yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rabu malam (10/6) di Hotel Bumikarsa Bidakara Jakarta. Persoalan muncul, ketika setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden diberi kesempatan untuk mempersembahkan salah satu kesenian.

Selain menghadirkan kesenian Kentongan yang berasal dari daerah Purbalingga, Jawa Tengah dan lagu “Gebyar-Gebyar” yang diciptakan oleh adik Mega, Guruh Soekarnoputra, Pasangan capres dan cawapres Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto menghadirkan monolog yang diperagakan Butet.

Kesenian yang memukau ini mendapat penghormatan dari para hadirin yang datang dengan senyum dan tepuk tangan. Nah anehnya, pasangan SBY dan Boediono tampak tidak tersenyum sedikit pun. Tersinggungkah Pak Beye?

Saya sangat sepakat dengan tampilan monolog Mas Butet, yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia lima tahun terakhir yang cukup menyedihkan. Apalagi menurutnya, perlu gebrakan dari pemimpin yang berpihak kepada rakyat dan membawa kemajuan bangsa.

Sepanjang Butet ber-monolog ditayangkan, nyaris tak ada senyum yang diberikan oleh Pak beye. Saya lihat, begitu pula dengan Boediono. Memang perlu diakui, inti monolog Mas Butet kerap “menyindir” produk-produk pemerintahan yang dipimpin oleh Pak Beye. Mulai dari banyaknya utang, direbutnya hak paten batik dan kesenian reog, Blok Ambalat, para tenaga kerja wanita (TKW) yang kerap disiksa, pesawat militer yang berturut-turut jatuh, hingga upaya pemberantasan korupsi yang tak maksimal.

“Ada anekdot, jangankan untuk bertempur, pesawatnya sudah jatuh duluan. Upaya pemberantasan korupsi masih tebang pilih,” tutur Butet diikuti tepuk tangan hadirin, tetapi tidak dengan SBY.

Nah, persoalan tak menarik tapi populer, muncul. Akibat aksi seni tersebut, tim kampanye nasional pasangan capres-cawapres SBY-Boediono menganggap acara deklarasi pemilu damai yang diselenggarakan KPU, Rabu malam kemarin, telah dinodai oleh pasangan Megawati-Prabowo dengan orasi yang menyerang pasangan capres lainnya.

Anggota tim kampanye nasional SBY-Boediono, Andi Malarangeng kini balas sindiran Mas Butet yang menyerang capres lain itu, mungkin bukti ketidakmampuan pasangan Megawati-Prabowo untuk mengkritik atau menyerang pasangan lain.

Oke, stop! Saya tak ingin melanjutkan pro-kontra monolog Mas Butet.

Yang jelas, KPU sedang mengevaluasi sejumlah atraksi seni yang disuguhkan pasangan capres-cawapres dalam deklarasi pemilu damai itu, untuk memastikan pilpres bebas dari perselisihan. Meski ini adalah tugas Bawaslu dan agak di luar kewenangan KPU, tapi komitmen pemilu damai perlu mendapat apresiasi.

Saya berpendapat, bukan itu persoalan yang signifikan.

Bagi saya, monolog Mas Butet tidak perlu ditanggapi reaktif dan emosional. Apalagi, pesan yang diungkapkan Mas Butet, yang bukan pria berdarah Batak itu, merupakan aspresiasi seni semata.

Mungkin hanya kemasannya yang keliru. Jika monolog Mas Butet ditempatkan di opening atau clossing deklarasi di luar penampilan seni capres-cawapres, bisa jadi tak ada yang protes. Lha wong mana berani memprotes KPU–Sang Wasit Pertandingan Pemilu–apalagi menjadi tuan rumah acara?

Dan terakhir, jika Mas Butet ditangkap polisi gara-gara atraksi monolog-nya, saya siap pasang badan. Apabila Mas Butet dipenjara, maka berarti kebebasan perpendapat di negeri ini, sudah tak terjamin lagi.

Tak ada sikap terhormat melebihi Mas Butet, saat tampil berani bicara lantang di depan penguasa. Apalagi sudah lama sekali bahkan saya sudah lupa kapan ada orang yang berani bicara demikian di hadapan seorang Presiden. Rasanya, saya pernah bermimpi menjadi Mas Butet saat ber-monolog. Setidaknya, mimpi itu sudah menjadi kenyataan, meski peran saya diambil.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Ibu Negara dan Jilbab Barunya

Filed under: Agama,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , , , ,

Diposting di Kompasiana.com pada 31 Mei 2009

TAK BIASANYA, Ramlah Umar, sahabat saya yang juga aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menelepon saya dan langsung curhat soal perkembangan politik di Jakarta. Memang, sudah lama kami tak bersua, sejak tahun lalu saya di Manado.

Kali ini, Ela–sapaan sahabat saya itu–bercerita tentang kegiatannya beberapa waktu lalu, saat PMII menggelar acara Hari Kelahiran PB PMII di Balai Kartini Jakarta. Dalam kegiatan itu, Ibu Ani Yudhoyono hadir sebagai tamu undangan. Tapi kali ini sungguh berbeda. Berbeda dengan biasanya, kali ini Sang Ibu Negara tampil mengenakan jilbab dan busana Muslim.

Di sinilah ‘gosip’ kami menghangat.

Saya langsung bertanya, apa yang dilihatnya itu benar-benar Ibu Ani Yudhoyono? Saya cuma khawatir, kalau Ela keliru. Tapi ternyata, memang benar Ibu Ani. Karena setelah mengikuti acara seremoni PMII, kalangan jurnalis langsung berupaya menodong sejumlah pertanyaan. Tentunya, terkait penampilan baru Ibu Ani.

Berita hebohnya lagi, Ibu Ani Tampil Berjilbab di Poster yang dibagikan kepada para peserta Silaturahim Nasional Koalisi Parpol Pendukung SBY-Boediono, Sabtu (30/5) di PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat. Istri SBY, Ani Yudhoyono, tampak ayu dengan setelan pakaian muslim dan jilbab bernuansa warna hijau.

Poster itu sendiri merupakan poster berisi “Program Pro Rakyat SBY”, yang diletakkan di kursi para pendukung koalisi parpol yang merupakan pengurus partai koalisi dari seluruh Indonesia. Tampilan berbeda yang dikenakan Ibu Ani memang menjadi menarik, ditengah isu jilbab yang santer dijadikan sebagai salah satu daya tarik.

Salah satu partai koalisi, Partai Keadilan Sejahtera, menjadi partai yang sangat terbuka menyuarakan bahwa jilbab menjadi salah satu faktor yang bisa mengajak pemilih untuk memilih pasangan tersebut. Apalagi, istri pasangan kompetitor, Jusuf Kalla dan Wiranto, mengenakan jilbab. Partai Demokrat sendiri berharap, isu jilbab tidak dipolitisasi menjelang pemilu presiden.

Sebelumnya, Koordinator Operasional Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Yahya Sacawirya, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan ikut-ikutan terbawa dengan isu tersebut dan membiarkan semuanya mengalir secara alamiah.

Lantas, apa alasan Ibu Ani tiba-tiba berjilbab? Itu yang membuat saya penasaran, apalagi sejumlah situs berita internet tak memuat pernyataan beliau. Saya berusaha berpikir logis, mungkin jika berita tentang penampilan busana baru Ibu Ani, masih dianggap kurang menarik, jika dibandingkan dengan perang wacana capres-cawapres.

Saya mulai mencari tahu asal mula busana Ibu Ani. Hati saya kemudian sedikit tergelitik, ketika membaca berita Hati Kader PKS Ada di Jilbab Istri JK-Wiranto. Dalam berita itu, Partai Keadilan Sejahtera mengakui bahwa hati sebagian kadernya berpihak pada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto meskipun keputusan formal partai memutuskan berkoalisi dengan Demokrat dan menyukseskan pasangan SBY-Boediono. Malah menurut Wakil Sekjen DPP PKS Zulkieflimansyah, alasan keberpihakan pada JK-Wiranto cukup sederhana, istri dari kedua kandidat itu mengenakan jilbab.

Inikah alasan Ibu Ani yang lantas mengenakan busana Muslim?

Saya berupaya mencermatinya dan mengesampingkan ranah agama. Apalagi setelah berita itu bergulir, Partai Demokrat mengaku telah menegur Presiden PKS Tifatul Sembiring karena salah satu kadernya mengembuskan isu jilbab istri-istri pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menyudutkan pasangan SBY-Boediono. Partai Demokrat menilai hal tersebut sebagai politisasi atribut agama menjelang pemilu presiden.

Bagaimana dengan Bu Mega? Tampaknya Capres Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapres, dengan jargon Mega-Pro, menyatakan enggan latah berjilbab. Menurut Mega, sejak ia kecil, Bung Karno selalu mengatakan agar dirinya berpakaian sesuai jati dirinya tanpa latah mengikuti orang lain. ”Jadilah diri sendiri. Bagi saya hal itu yang sangat penting,” begitu kata Mega.

Kembali ke soal busana baru Ibu Ani. Saya sangat sependapat dengan Ibu Negara, jika sikapnya mengenakan jilbab dan busana Mulim, berasal dari niat dan hati yang bersangkutan. Tentunya, ini adalah sikap pribadi dari seorang perempuan Muslim.

Sama halnya dengan Ela, sahabat saya, yang menjelang Pemilu Legislatif 2009 lalu, tiba-tiba mengenakan jilbab. Awalnya saya agak kikuk, tapi ternyata itu cuma sementara. Ela tetap menjadi salah satu sahabat saya, yang enak diajak ‘gosip’ soal politik. Bahkan ketika ia gagal meraih kursi di DPR RI, Ela tetap mengenakan jilbabnya. Itu yang saya salut.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

24 Juli 2009

Carlos Pardede Vs Boediono

Filed under: Media,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di Kompasiana, 14 Mei 2009

KEKERASAN terhadap jurnalis kembali terjadi. Anehnya, kasus terbaru kali ini, justru terjadi ‘hanya’ dipicu oleh persoalan tata tertib tamu di Gedung Bank Indonesia.

untitled

Carlos Pardede, jurnalis SCTV

Adalah Carlos Pardede, Sang Reporter stasiun televisi SCTV, yang dianiaya petugas keamanan BI, saat hendak melakukan peliputan di Gedung Bank Indonesia, Jakarta (13/5). Keributan terjadi di pintu gerbang Gedung BI. Saat itu, Carlos bermaksud mencari kesempatan mewawancarai Gubernur BI Boediono, yang dipastikan dipinang Susilo Bambang Yudhoyono menjadi cawapres.

Terus terang, saya tak kenal satpam BI, apakah mereka selama ini bertindak represif dengan para tamu. Saya juga belum mengenal Carlos. Bisa jadi, pria etnis Batak itu sebelum insiden terjadi dengan pihak keamanan BI, tidak mengetahui adanya tata-tertib ‘meyetor’ identitas KTP ke pihak penerima tamu BI di pintu gerbang.

Justru di sinilah muncul pertanyaan itu.

http://www.kabarpemilu.com/~warehouse/img/preview/20090513mDSC_7080siar.jpg

Kartu Pers digantung di gerbang Bank Indonesia

Apakah selama ini ada kewajiban ‘menyetor’ KTP di gerbang masuk BI? Atau ini sebenarnya hanya alasan halus dari pihak keamanan gedung, untuk mengusir kalangan jurnalis yang ingin meliput Gubernur Bank Indonesia Budiono? Jika memang demikian, apa motivasi mengusir jurnalis, ketika ‘good news’ sedang di depan mata?

Kali ini, saya imencoba menggunakan kacamata Budiono. Jika saya adalah Budiono yang dirumorkan akan menjadi kandidat cawapres Susilo Bambang Yudhoyono, maka saya tidak akan melarang jurnalis yang ingin menemui saya. Bahkan, saya akan perintahkan pihak humas, agar menjadwalkan pertemuan khusus dengan kalangan media cetak maupun elektronik, karena tentunya, mereka punya segmen khusus yang membutuhkan wawancara eksklusif.

Sulitkah itu dilakukan? Tentu tidak!

https://i0.wp.com/www.tribunkaltim.co.id/photo/2009/03/6ef584d2ef2a17481aae5a64fb335422.jpg

Boediono

Itu tergantung isi kepala dan hati Sang Gubernur BI. Mungkin saja, saat itu ia sedang geram dengan tayangan-tayangan di SCTV, yang menyudutkan posisi atau kinerja BI. Atau bisa jadi, Budiono sedang risih didatangi kalangan jurnalis, karena kesibukannya sebagai jurukunci bank sentral. Apalagi, dalam beberapa bulan terakhir, Budiono tampak sibuk bolak-balik ke Istana Kepresidenan, untuk berkonsultasi menetralisir gejolak pasar keuangan, menyusul krisis global yang dibawa oleh dampak krisis Amerika Serikat.

Saya yakin, Budiono tak mengenal Carlos Pardede. Saya juga percaya, tak ada masalah pribadi antara Budiono dan Carlos Pardede, sebelum insiden terjadi. Seorang jurnalis andal sekaliber Carlos Pardede, tentunya tidak akan dendam, apalagi menghubungkan kasus dirinya dengan pribadi Budiono. Hubungan Carlos dengan Budiono, hanya sebatas jurnalis dan nara sumber, dan bukan korban dan tersangka pidana.

Tapi yang pasti, kasus kekerasan terhadap jurnalis, menambah coreng kebebasan pers. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2008 tercatat 60 kasus kekerasan. Tindakan kekerasan tersebut meliputi serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus) dan  penyanderaan (1 kasus).

Dari kasus kekerasan yang tercatat, menunjukkan indeks kebebasan pers di negara ini setelah 10 tahun reformasi justru menurun. Dari data Reporters Sans Frontiers (organisasi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers di dunia), Indonesia yang menempati posisi 100 turun menjadi 111 tahun 2008. Padahal, indeks kebebasan pers tersebut dipercaya oleh publik internasional sebagai tolok ukur demokrasi di suatu negara.

Sudah saatnya ada di setiap benak kalangan pejabat dan kelompok masyarakat, agar tidak menghalang-halangi jurnalis yang sedang melakukan tugas peliputan, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk memblokade pemberitaan. Saya sepakat, kekerasan terhadap pers bukan hanya tindak kriminal yang diancam pidana, namun juga melanggar hak masyarakat untuk mendapat informasi.

https://i0.wp.com/www.antarajatim.com/UserFiles/imageberita/bi.jpeg

Aksi solidaritas Carlos Pardede di daerah

Lantas, pahamkah seorang Budiono tentang kebebasan pers? Saya berupaya berpikir positif, bahwa Budiono paham betul tentang kerja jurnalis. Mudah-mudahan, insiden yang terjadi di halaman kantornya, menjadikan sang bakal calon wakil presiden itu, menjadi lebih dewasa. Dengan demikian, Budiono akan mengerti, jika ia sedang tidak ingin diwawancarai, maka akan memerintahkan petugas satpamnya, supaya mengedepankan sikap bersahabat dengan para jurnalis.

Atau minimal, pejabat di BI memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Dan paling minimal, wajib menyediakan sarapan pagi kepada para satpamnya, agar tak bertampang galak menghadapi para tamu.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Sepenggal Kisah Mei’98 di Facebook

Filed under: Budaya,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43

Diposting di Kompasiana.com 13 Mei 2009

Seorang sahabat saya Imelda Soewahjo bercerita singkat tentang trauma yang pernah dialaminya, 11 tahun yang lalu. Tepat 13 Mei 1998, perempuan cantik keturunan Tionghoa itu, sedang gundah. Siang terik ketika bara api mulai menyala, ia mulai was-was.

http://libryy.files.wordpress.com/2009/03/kerusuhan-mei-1998.jpg

Mei'98

Tapi Imel–sapaan akrabnya–harus menuju RS Husada, karena Sang Oma meninggal dunia. Meski meninggal bukan akibat menjadi korban kerusuhan, tapi tindakannya menuju rumah sakit, yang ditempuh dengan resiko tinggi, harus diacungi jempol.

”Saya dan teman saya dari Grogol naik bajaj. Benar-benar menakutkan. Orang-orang teriak menyebut saya ini Cina. Tapi, saya acuhkan saja,” begitu kata Imel di facebook saya. Kala itu, mahasiswa Universitas Trisakti baru saja memakamkan sejumlah rekan mereka, yang tewas saat unjuk rasa mengatas-namakan reformasi.

Dalam konteks ini, saya salut atas tindakan Imel.

https://i0.wp.com/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/6c/Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.svg/220px-Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.svg.png

PANCASILA

Saya pikir, Imel adalah salah satu perempuan Indonesia, yang berani mempertaruhkan nyawanya, demi eksistensi keutuhan NKRI. Untuk melakukan ini, Imel tidak perlu sepucuk senjata api ataupun hak kekebalan hukum warga eksklusif. Yang diperlukan Imel hanya ’secuil keberanian’ menjadi penumpang bajaj, untuk menembus kerumunan massa yang beringas.

Keberanian Imel menempuh resiko melintasi dunia tak bertuan saat itu, bisa dibilang mirip dengan perjuangan seorang Daud saat menaklukan raksasa Goliat. Tubuh Imel yang lemah, harus berhadapan dengan murka ratusan dan bahkan ribuan manusia yang pikirannya sedang rusak. Sebagian dari mereka sedang membelokan arah perjuangan reformasi, ke berbagai aksi manusia bar-bar.

Apalagi, profesi Imel kala itu bukanlah tentara, polisi atau aparat penegak hukum, yang tindakannya mengatas-namakan negara. Justru sikap ’keluguannya’ sebagai warga negara, membuat statusnya menjadi terhormat.

Lantas, apa yang menyelamatkan sahabat baru saya di facebook itu? Iman. Bagi saya, sebuah kekuatan yang melamui akal pikiran manusia, telah tumbuh dalam dirinya. Ia tidak takut menghadapi apapun, bahkan tidak lari meninggalkan NKRI. Itulah nasionalisme sejati yang tak muluk-muluk.

http://maulanusantara.files.wordpress.com/2008/04/korset22.jpg

ilustrasi

Meski saat itu ancaman perkosaan perempuan Tionghoa ada di depan mata, pikirannya tetap lurus. Ia hanya bersikap positive thingking, yakni bagaimana bias sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

”Saya pun ikut merasakan penderitaan mereka. Takkan pernah terlupakan sampai akhir hayat! Kasihan perempuan yang diperkosa, apalagi tidak bisa aborsi,” begitu tuturnya mengakhiri kenangan Mei Kelabu.

Kini, 11 tahun telah berlalu. Dan kisah ini, masih menyimpan misteri. Saya dan Imel hanya bisa berdoa dan berharap, supaya kasus ini bisa diproses secara hukum. Pikiran kami simple saja, pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan aparatnya, untuk menangkap pelaku dan mengadilinya sesuai hukum yang berlaku.

Dan bagi saya, sikap nasionalisme, bukan hanya melulu sebatas memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Atau memenangkan emas Olimpiade dan bertempur sebagai pasukan perdamaian PBB. Seorang nasionalis, tentunya akan bijak menentukan sikapnya di saat yang tepat. Bahkan perempuan seperti Imel, secara tak sadar telah berhasil meletakan nasionalisme dan menghormati leluhur, di sebuah momentum yang tak terlupakan seumur hidupnya.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

21 Juli 2009

Suhu Panas Menjelang KTT WOC

Filed under: Ekonomi,Lingkungan,Mancanegara,Politik — nancysamola @ 10:43
Tags: , , , ,

Diposting di Kompasiana.com 10 Mei 2009

WOC di Manado

BEBERAPA hari terakhir ini, ada yang aneh sama ruang kamar saya. Tak biasanya, saya merasa kepanasan, meski sebenaranya kota Manado tempat saya lahir dan dibesarkan, memang dikenal kota pesisir pantai yang menggerahkan.

Tapi kini, suhu udara di kota Manado dan sekitarnya, beberapa hari ini terasa cukup panas. Kondisi ini bukan dipengaruhi oleh meningkatkan suhu politik menjelang Pemilu Presiden 8 Juli 2009, tapi ternyata, lantaran Manado menjadi tempat tuan rumah, saat Indonesia menyelenggarakan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit, di Manado, 11-15 Mei 2009.

Lantas, apa kaitannya WOC dan CTI Summit dengan kamar saya yang makin panas?

Nah ini dia. Saya berupaya mencari tahu lebih dalam. Sejak Jumat pekan lalu (8/5), 10 penerbangan ekstra dari Jakarta dan Singapura telah mendarat di Bandara Sam Ratulangi Manado, untuk membawa delegasi negara sahabat dan tamu undangan. Wah, pantas saja penduduk Manado yang tek lebih dari 500 ribu jiwa, makin disesaki ribuan orang ‘pendatang dadakan’. Dan, inilah jawaban persoalan itu. Manusia secara tak sadar berebut oksigen!

Manado Dahulu dan Kini

Pemandangan bawah laut Bunaken, Sulawesi Utara, benar- benar menarik. Berada di kedalaman laut, berbaur dengan terumbu karang dan ikan warna-warni, menimbulkan sensasi yang sulit dibayangkan.

Semasa kecil saya di sini, nyaris tak ada rumah yang menggunakan pendingin ruangan AC.  Dulu itu, kota Manado dikenal sejuk oleh udara segar dan angin laut, yang memicu mata terkantuk-kantuk. Angin segar yang membuat halusinasi setiap orang untuk berperilaku hidup santai itu, seakan-akan melambatkan roda perekonomian daerah. Apalagi di era 70 hingga 80-an, indeks kemiskinan di Sulawesi Utara, sangat kecil dibandingkan daerah lainnya.

Manado bukanlah kota kaya, dan salah besar jikadisebut kota miskin. Tapi yang jelas, Manado memiliki kelebihan dibandingkan kota-kota lain di timur Indonesia, sebagai kota tujuan berlibur setelah Bali dan Danau Toba.

Mungkin karena letaknya di pesisir pantai, banyak wisatawan mancanegara dan lokal yang berlibur di tempat ini. Meski tak ada olah raga selancar, tapi Manado dan pasisir pantai lain di Sulawesi Utara lainnya, mempunyai keunggulan, yakni panorama yang indah. Apalagi, ‘jualan marketing’ terbaiknya taman laut Bunaken, menjadikannya sebagai image bagi negara asing, bahwa Indonesia terkenal dengan Bunaken-nya.

Bunaken adalah sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang dapat di tempuh dengan Speed boat atau kapal sewaan dengan perjalanan sekitar 30 menit dari pelabuhan kota Manado. Di sekitar pulau Bunaken terdapat taman laut Bunaken yang memiliki biodiversitas kelautan tertinggi di dunia.

Apalagi, selam scuba menarik banyak pengunjung ke pulau ini. Meskipun meliputi area 75.265 hektar, lokasi penyelaman (diving) hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu.

Dan memang, dunia itu berputar. Masa emas ini tak berlangsung lama. Bunaken mulai di nomor-duakan, nomor tigakan dan mungkin di nomor 100-kan dalam tujuan wisata. Apalagi sejak era otonomi daerah, belum ada gebrakan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk mewujudkan Bunaken sebagai tujuan wisata dunia.

Dan kini sudah saatnya, masyarakat dan pemerintah tidak terlena terhadap kerusakan terumbu karang di Bunaken. Sejak 10 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang makin diperparah oleh banyaknya sampah kota yang menumpuk di pantai Manado.

Bunaken dalam WOC

Aktivitas penerbangan di Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado.

Konferensi Kelautan Dunia WOC dan CTI Summit, mulai Senin 11 Mei, digelar. Sudah bisa ditebak, isu seputar kerusakan lingkungan akibat alam dan ulah manusia, akan dibahas. Apalagi, puluhan profesor dan pakar kelautan, sudah menyiapkan lembar makalah tebal, yang disampaikan di hadapan kepala-kepala negara sahabat, termasuk ratusan jurnalis nasional dan asing.

Aplagi sekitar 4.500 personel gabungan TNI dan Polri siap mengamankan pelaksanaan KTT Kelautan Internasional WOC dan CTI Summit, yang berlangsung pada 11-15 Mei 2009 di Manado. Gabungan pengamanan tidak hanya berada di Manado, tetapi juga didatangkan dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

Gabungan TNI-Polri akan diutamakan pada pengamanan pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia itu di Convention Hall Grand Kawanua City Hotel (GKIC), serta sejumlah hotel bintang lima dan empat tempat menginap sejumlah kepala pemerintahan serta ribuan tamu dari 121 negara. Kemudian, lokasi pengamanan lainnya berada di pusat-pusat keramaian, sejumlah sudut kota, hingga Bandara Sam Ratulangi Manado, Pelabuhan Laut, dan berbagai akses umum lainnya.

Pengamanan ini tampaknya dianggap penting, karena ribuan delegasi negara sahabat, tamu undangan dan kalangan jurnalis, akan hadir pada pertemuan, yang salah satu agendanya adalah mencari solusi penyelamatan lingkungan kelautan.

Apalagi, penyelenggaraan WOC dan CTI di Manado, telah menghabiskan dana sekitar Rp 380 miliar, untuk pembangunan infrastruktur, sedang biaya penyelenggaraan hanya sekitar Rp 41 miliar.

Tapi yang terpenting adalah, tindakan aparat keamanan mampu mengatasi ancaman, yang dapat mengganggu kedamaian, khususnya bagi Sulawesi Utara. Selain itu, TNI dan Polri yang intens melakukan pengamaman di beberapa lokasi kegiatan WOC dan CTI Summit, juga tidak mengganggu aktivitas warga di Manado yang tidak terkait dengan kegiatan tersebut.

Sedangkan dana yang cukup besar Rp 380 Milyar tersebut, diharapkan digunakan untuk kepentingan WOC, dan tidak boleh dikorupsi. Minimal harus ada target, bahwa dana tersebut dapat memancing investor asing, untuk menanamkan modal di Indonesia, termasuk mempermudah akses semua pihak untuk menyelamatkan lingkungan.

Semoga, KTT Kelautan Internasional WOC dan CTI Summit mampu mendukung roda perekonomian nasional maupun daerah. Event ini maupun yang lainnya, sudah selayaknya menjadi sumber pemasukan sektor Meeting, Incentive, Congress dan Exhibition (MICE), termasuk mendukung sektor riil bagi warga Bunaken.

Dan akhirnya, saya kembali ke dalam kamar sauna di kala siang terik. Yang saya khawatirkan adalah, limit tabungan saya berkurang karena membeli pendingin udara, atau tetap bertahan dengan keringat di dahi hingga WOC berakhir.

(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)

Sepucuk Surat dari Anak Mantan Caleg

Filed under: Ekonomi,Politik,Sosial — nancysamola @ 10:43
Tags: , ,
http://hermansy.files.wordpress.com/2009/04/logo-pemilu.jpg

Logo Pemilu 2009

Kak..

Aku sedih bangat kak..
Aku gak tau apa yang aku lakukan untuk keluargaku.

Papa aku kalah kak dalam pemilunya. Banyak bangat yang curang kak.
Papa kalah dan banyak uang yang habis kak.
Papa tegar bangat tapi mama selalu nangis kak.
Apalagi papa gak mau cari kerja lagi, taunya di rumah aja,

semuanya gak tau mau ngapain untuk ngasih uang ke mama.
Mama selalu nangis di depan aku kak.

Aku mau bantu mereka kak.
Aku mau cari uang, tapi aku gak tau cari uang ke mana.
Aku mau kerja.

Aku mau kerja dengan biolaku, kak…

aku mau ngamen di lampu merah, tapi aku takut kak bikin malu keluarga.

Kak, aku pusing kali kalo aku ke rumah.

Kenapa Tuhan beri cobaan kayak gini.

Kak.. aku sedih bangat.
Apa yg aku lakuin kak..

:(

(BSPN)

Note:

Surat ini dikirimkan seorang sahabat saya di Facebook berinisial BSPN (17 tahun), hari ini (7/5) jam 08.45 WIB melalui massage. Sengaja saya berbagi kepada rekan-rekan Kompasiana, bahwa ini adalah salah satu gambaran yang terekam di sebagian keluarga caleg, yang gagal pada Pemilu Legislatif lalu. Semoga bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita semua.

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.