Diposting di kompasiana.com pada 8 Juli 2009
PAGI TADI, saya cuma bisa menghela nafas, ketika membuka situs kompasiana.com. Kemarin sore sebelumnya, saya mengirimkan sebuah tulisan, berharap agar diposting pada malam harinya. Patut dimaklumi, kalau menjelang Pilpres 2009 ini, banyak tulisan yang antri di “public blog kompasiana”.
Sedihkah tulisan saya tak diposting Tim Redaksi Kompasiana? JIka dari kacamata profesi saya sebagai dosen yang tak terkait ilmu jurnalistik, tentulah hal itu tak mengapa. Tapi, hati kecil saya mengatakan, apa yang salah dalam tulisan saya berjudul “Lagi-Lagi Berita Miring Kerukunan Umat Beragama” ? Apakah tulisan saya provokatif dan dapat menimbulkan keresahan? Bagi saya tidak. Saya hanya memberi gambaran kerukunan umat beragama, setidaknya 5 tahun terakhir. Lantas, apa penyebab tulisan saya berstatus “unpublished”.
Saya sependapat dengan anggota PublicBlog Kompasiana, Ragile, yang prihatin masa edar public blogger pada beranda depan (home page) hanya 3 jam. Padahal sebelumnya masa edar sampai 7 jam yg memberi kesempatan hidup postingan public blogger lebih lama dan rasional. Mungkin inilah salah satu faktor, kenapa tulisan saya harus berkompetisi dengan puluhan anggota lainnya. Bisa jadi, tulisan saya dianggap Tim Redaksi kurang baik, dari beberapa tuliasan yang terbaik. Atau mungkin, tulisan saya kebetulan saat dilakukan moderasi “dinilai paling buruk” dari tulisan buruk.
Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, saya berusaha berpikir positif. Tulisan saya berjudul “Lagi-Lagi Berita Miring Kerunan Umat Beragama” tersebut, bisa jadi bernuansa sensitif menjelang Hari Pencontrengan dan mengandung unsur black campaign. Yang saya tahu dari ilmu jurnalistik, hal itu tak perlu dikuatirkan, karena ada sebuah sumber link berita yang saya ambil dari situs berita Jawapos.
Awalnya saya berharap, tulisan tersebut dapat menjadi sebuah sumber inspirasi bagi semua pembaca kompasiana, tentang adanya fakta kerukunan umat beragama di Indonesia. Selama ini, berita-berita tentang aksi massa yang melibatkan kelompok mayoritas dan minoritas, sering tak mendapat tempat yang layak di media untuk diperbincangkan.
Akhirnya, saya cuma bisa berharap, semoga ada solusi dari tulisan yang tak terpublikasi, apalagi hal itu mencakup kebenaran dan fakta di lapangan. Jika informasi penting belum dimuat di situs kompas.com, saya pikir, tak ada salahnya mengemasnya ke dalam kompasiana. Tak perlu khawatirlah, pembaca kompasiana adalah user internet yang sudah cukup cerdas, sehingga tak usah khawatir secara berlebihan. Apalagi ada tools interacktive di bagian bawah postingan, maka penulis dapat berkomunikasi dengan para komentator. Hare gene gak masalahlah, berinteraksi dengan komentator real, maupun yang fiktif.
Sebagai solusi teknis, mungkin sudah dapat dipertimbangkan, agar ada satu link baru di kompasiana yang isinya adalah postingan penulis PublicBlog Kompasiana yang berstatus unpublished. Dengan cara demikian, kita semua dapat mengetahui tulisan-tulisan apa yang “diharamkan” Tim Redaksi. Bisa jadi dengan cara demikian, tulisan tersebut lebih memicu semangat interaktif dengan pembaca lainnya.
(Nancy Samola, aktivis Komunitas Lentera)